Siapa yang tidak kenal namanya? Insan akademis sudah tentu tidak
asing dengan nama itu, begitu pula birokrasi pemerintahan. Tidak hanya di
negeri serambi madinah, namanya lebih dulu familiar di Sulawesi Utara dan
Maluku.
MAD-Khatulistiwa
Saturday, January 14, 2017
Friday, November 11, 2016
MEKAR CINTA
Malam
itu Cakra dan teman-temannya baru saja tampil menari dalam sebuah acara amal
yang diselenggarakan Forum Komunikasi Osis (FKO) Kendari. Mereka tampilnya di hotel.
Sebelum pulang mereka diberi satu amplop putih.
Thursday, October 27, 2016
Monday, October 24, 2016
YANG LEBIH DITAKUTKAN SOEHARTO DARIPADA PKI
Suramnya
jalan itu sudah apik dikisahkan Dedi Padiku, dalam bukunya “Mengejar-ngejar
Mimpi” yang saya baca di bawah rinai hujan samping TVRI kota serambi Madinah.
Pemuda asal Suwawa yang kini bekerja di Jakarta itu menuturkan, sewaktu ia
menempuh pendidikan di salah satu
sekolah kejuruan termasyhur di Kota Gorontalo, jumlah peminat dan kuota
siswa baru yang disediakan calon sekolahnya terpaut jauh. Dia bersyukur karena
dapat diterima melalui jalur resmi. Sementara yang gagal hanya bisa gigit jari.
Punglipun menjadi alternatif terbaik untuk memuluskan keinginan beberapa
“orang-orang gagal tapi berduit” untuk bersekolah di tempat itu.
Kejadian di
atas hanyalah salah satu dari ribuan pintu-pintu aktualisasi Pungli yang kerap
terjadi di negara yang konon dijajah Belanda selama 31/2 abad ini.
Berawal dari
operasi tangkap tangan yang dilakukan Kepolisian di Kementrian Perhubungan atas
laporan kementrian itu sendiri atas maraknya kelicinan dalam instansinya,
perang melawan Pungli semakin dikobarkan ditandai dengan dilahirkannya satuan
tugas khusus di bawah kekangan Menko Polhukam Wiranto.
Kejadian
miris tersebut tidak luput pula dari pantauan masyarakat. Bagai membersihkan
dengan sapu yang kotor, begitu kata khalayak. Rahasia umum itupun dikuak bahwa
dalam tubuh sehat kepolisian terdapat jiwa bernoda. Mereka tidak pantas
melakukan operasi sebab dalam tubuhnya sendiri mengalir darah Pungli. Jika
demikian siapa berani memandikan buaya? Cicak versus Buaya sudah lewat, Kan
janggal juga bila Nusron harus turun tangan, karena hanya tangannya yang tau
untuk apa dia turun.
Dalam
sejarahnya, “Pungli lebih dulu ada ketimbang kemerdekaan Indonesia. Pungli tak
terpisahan dari kehidupan. Ia ada disetiap tempat yang berhubungan dengan
pelayanan,” ungkap James Luhulima dalam kolom politik Kompas. Bahkan, menurut
Adi Andojo Soetjibto, “Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di negeri ini sudah
ada yang namanya upeti. Di zaman penjajahan Belanda juga sudah ada ungkapan
‘voor war, hoort wat’ (untuk apa, tentu ada apa-apanya).” Dalam paragraf lain
pada Opini Kompas, Adi A.S menuliskan, “memberantas pungli tidaklah mudah,
karena pungli di negeri ini tidak dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi
lebih sebagai kebiasaan yang sudah membudaya.”
Bagi
Soeharto, Pungli lebih mengerikan daripada PKI. Tiga puluh dua tahun
kepemimpinannya, Pungli selalu mengusiknya. 16 Juni 1977, Bapak Pengutang itu
bahkan memerintahkan lembaga tersangar di eranya, Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) agar Pungli disapu bersih. Terkaman singa itu membuahkan
hasil, Pungli mereda, masyarakat tersenyum bangga. Namun, Kepala Staf
Kopkamtib, Laksamana Sudomo beda perasaan dengan publik. Menurutnya, gerakan
yang dipimpinnya hanya sebatas pemantik, tak bisa terus dilakukan. Pungli
sungguh sulit diberantas dari luar. Ia menyarankan, agar penyakit ini lenyap
maka setiap lembaga mesti membentuk sistem imunnya sendiri. Apa hendak dikata,
sistem pengawasan internal tidak berjalan baik. Pungli kembali bangkit dan
terus menggerogoti.
“Pada masa
Soeharo,” tulis Adi A.S, Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung, ada usaha lain yang
sempat dilakukan demi memberantas Pungli ini. Waktu itu, Menteri Penertiban
Aparatur Negara, JB Sumarlin menyamar sebagai rakyat biasa. Ia menginspeksi
mendadak ke satu rumah sakit dan menindak langsung petugas yang melakukan
Pungli. Sayang, menurutnya, gerakan itu hanyalah gerakan tak berkepanjangan.
Karenya, Pungli kian marak hingga kini. Ia pun berharap, satgas khusus yang
baru dibentuk Jokowi bukanlah gebrakan sesaat, yang nasibnya hanya meledak
lantas hilang diperjalanan.
Meski di
sisi lain ada nada pesimis terpendam, namun api optimis jangan sampai padam, ia
harus tetap menyala menerangi malam. Hanya harapan yang dapat membuat hidup
terus berlanjut. Kepercayaan masyarakat tak kalah penting agar pemerintah
melangkah tanpa takut. Pemberantasan Pungli tengah berlangsung, partisipasi
masyarakat jangan dipasung. Semua elemen dari unsur tekecil hingga raksasa:
baik itu sistem maupun manusia selaku perancang sistem dan pelaksana sistem
tersebut, mari sama-sama mengerjakan amal kebaikan, mentaati kebenaran, dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al Ashr :3).
Sumber: 85%
Kompas 22/10/16
Saturday, October 15, 2016
TERTIPU DI YOGYAKARTA
Puluhan langkah meninggalkan gerbang Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta; langit berlahan berselimut gelap. Padahal, kami baru saja melakukan pemotretan di bawah
langit terang bersama Soekarno dalam ukiran batu di depan fakultas Seni Rupa. Berkah
Tuhan dari langit sesaat kemudian bercucuran memberikan hidup dan mungkin juga
kematian. Saya dan mantan Ketua Komisariat STMIK ICHSAN Gorontalo terjebak dan
bersembunyi bersama batako di balik atap seng. Hujan sesekali menyapa melalui
celah bundar bekas paku. Sepatu putih, teman perjalanan dari kost ke Radio Buku, basah dan kotor terkena dampak erosi percik. Dekat
dengan sepatu, semangka seharga 8500 yang kami beli tak jauh dari tempat
berteduh kulit dan bijinya berserakan.
Tuesday, October 11, 2016
AKU DAN BUKU
Membaca kadang membuat mata terasa letih, ngantuk tak
terhindarkan. Selembar tulisan bak pil tidur paling mujarab. Sementara,
halaman-halaman berikutnya rindu dijamah tiada terkabul. Peristiwa pilu pernah
datang dari guru Fisika MAN 1 Kendari. Sewaktu mahasiswanya, ia giat
menghabiskan hari bersama buku, bila sehari saja tidak membaca, pusing pasti
melandanya. Dengan enteng seorang peserta didik memberikan tanggapan, “berarti
kalau tidak mau pusing jangan membaca dong Pak.” Siswa sok pintar itu adalah
Mad Khatulistiwa.
Doktrin membaca buku dan tulisan dalam bentuk apa saja saya,
lahir, ketika saya mengikuti perkaderan Kesatuan Pelajar Mahasiswa Muna
Indonesia (KEPMMI) di kota Serambi Madinah, Gorontalo. Persisnya lima tahun
lalu – di tengah kesibukannya mendidik pelajar SMA 1 Mananggu dan menyusun buku
Saya Malu Sebagai Orang Muna – dogma itu tertutur dari seorang kakak diperantauan
bernama Aspian Ibranur.
Jauh sebelum doktrin itu terdengar, sejak duduk di bangku sekolah
dasar saya sudah menghatam kisah-kisah para nabi, buku tanpa gambar yang
tersimpan di lemari kelas. Membaca ketika itu hanyalah untuk menghabiskan waktu
bila lelah bermain di halaman sekolah. Saat berseragam putih biru, kebiasaan
membaca itu masih ada. Dan bacaan paling menarik adalah petualangan Trio
detektif dan komik sewaan teman asrama. Semoga buku itu masih ada di
perpustakaan MTS, s PESRI Kendari.
Beranjak ke masa perkuliahan. Saya tercengang, sebab atmosfer
kampus sangat berbenturan dengan apa yang ada di alam ide, sebagaimana
pemahaman saya selama ini. Kondisi itupun memicu nyali untuk menyampaikan
keresahan dengan cara berbeda dari para demonstran. Sejak itu, kegiatan membaca
buku beralih membaca realitas dan sedikit demi sedikit mengikatnya dalam
tulisan dan menyebarkannya. Tulisan agitatif itu sedikit banyak terinspirasi
dari gaya kepenulisan Eko Prasetyo dalam bukunya Penguasa Tipu Rakyat dan Bangkitlah
Gerakan Mahasiswa.
Menjelang akhir masa studi strata satu, sepotong kisah dari – buku
mungil berjudul ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’ – seorang manusia yang hidup
tidak sekadar untuk menulis tetapi juga menulis untuk hidup, berhasil
meledakkan semangat untuk istiqomah menyusuri jalan sunyi kepenulisan.
Pengalamannya ditolak berpuluh kali ketika mengirim tulisan di media massa
hingga membuatnya berkesimpulan bahwa mengirim tulisan untuk ditolak adalah
perjalanan inspiratif dan mendapatkan perhatian khusus di hati ini. Meski saya
belum pernah sedikitpun ikut pelatihan menulis, berkat bacaan itu, tulisan saya
yang jauh dari kata pantas, nekat saja saya kirim ke email Gorontalo Pos. Dari
total enam tulisan yang saya kirim secara berkala, dua diantaranya berhasil
terbit.
Selasa, 11 Oktober 2016, saya akhirnya tiba di kota pelajar,
Yogyakarta. Si inspirator – penulis Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur – itu
tidak terlalu jauh untuk dipeluk kehidupannya, perasaan, dan pikirannya. Semoga
tanah ini menjadi titik keindahan perjumpaan demi menghimpun kata dalam
lembaran yang layak, lebih baik, dan terbaik.
"Tulisan 'Aku dan Buku' ini dibuat sebagai syarat pendaftaran mengikuti Volunteer Batch #4 yang diselenggarakan oleh radiobuku.com. Nantinya, peserta yang lulus akan menjadi relawan dan menyiar. Peserta juga akan dibekali teknik dasar penyiaran radio, mengikuti pelatihan jurnalistik, menulis esai, dan dapat menikmati fasilitas lainnya dari Warung Arsip. Harapan belajar nulis di Radio Buku sepertinya tertunda, karena tulisan di atas belum lulus seleksi. Saya mesti belajar lagi. Semoga masih ada kesempatan. Amin"
Baca Selanjutnya: TERTIPU DI YOGYAKARTA
Labels:
AVONTUR
Lokasi:Gorontalo, Indonesia
Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia
Saturday, October 8, 2016
MALAM MINGGUAN BERSAMA MEREKA
Duduk dari kanan Syahrir, Sofyan, Dilwan, Alif, Khaidir, Eni, Cici, dan Fitrah |
Inilah beberapa Teman-temanku semenjak
perkenalan itu bersemai di masa putih abu-abu. Malam ini pertemuan rindu itu
berlangsung sembari menikmati hidangan serta lantunan akustik. Sementara jalanan nampak macet.
Labels:
ALUMNI MAN 1 KENDARI
Lokasi:Gorontalo, Indonesia
Kendari, Kendari City, South East Sulawesi, Indonesia
Thursday, September 22, 2016
AKU DAN UNG BUTUH AKUA
Sabda Permen DIKBUD[i]
RI No. 55 Tahun 2013 Pasal 5 Tentang Biaya Kuliah Tunggal itu syahdu berbunyi:
Perguruan
tinggi negeri tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1)
dan program diploma mulai tahun akademik 2013 – 2014.
Sedikit aku kutipkan penggalan,
agar bisa kau jelaskan padaku, bagaimana maksud UKT itu? bila aturan ini belum sempat
kau baca, sudah kusiapkan kok linknya {klik di sini}. Budayakan membaca yag!
Saturday, September 17, 2016
MAHASISWA MIPA UNG MENOLAK BIAYA RAMAH TAMAH
Sumber: fb. Fakultas MIPA |
Jalan
Andalas, samping kantor Dewan Perwakilan Rakyat kota Gorontalo, di sinilah Grand
Palace Convention Centre berdiri megah. Pintunya terbuat dari kaca tebal tak berwarna, di
depannya ada air tergenang. Jenuhan titik air dari mendung awan baru saja
mengguyur 30 Agustus 2016. Tempat ini termasuk gedung baru di kota yang merdeka
23 januari 1942. Gedung-gedung di sisi kiri dan kanan berjejar mengikuti jalan.
Tempat ini dulunya adalah sawah. Termasuk gedung yang sebentar malam
akan kami gunakan dalam acara ramah tamah wisudawan (wati).Tersiar kabar, jurusan Matematika dan Biologi tarik diri dari kegiatan yang
diselenggarakan Fakultas MIPA UNG ini. Mahalnya biaya ramah tamah itulah alasannya.
Dalam gedung, telah duduk rapih dari kiri ke kanan: Matematika, Fisika, Kimia,
Biologi, dan tentu Geografi terakhir lagi. Kehadiran kedua jurusan, menyangkal
isu tersebut.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)