Saturday, January 14, 2017

BASRI AMIN INTELEKTUAL KEKINIAN?

Siapa yang tidak kenal namanya? Insan akademis sudah tentu tidak asing dengan nama itu, begitu pula birokrasi pemerintahan. Tidak hanya di negeri serambi madinah, namanya lebih dulu familiar di Sulawesi Utara dan Maluku.

Saya ingin menyebutnya sebagai Intelektual. Sumbangsih pemikiran lokal dan nasionalnya tidak diragukan lagi. Jurnal ilmiahnya sudah nimbrung ke taraf Internasional. Ia dosen yang sangat produktif. 

Tiap senin, Gorontalo Pos menerbitkan gagasannya. Dalam bukunya “Membaca Indonesia: Perubahan Sosial & Pergolakan pemikiran” ia mengaku telah bekerjasama untuk mengisi “Persepsi-Spektrum Sosial” pada media cetak tersebut sejak tahun 2012. Kebiasaanya menulis sudah dirintis sejak bermahasiswa di Universitas Sam Ratulangi Manado, 1993.

Saya suka membeli koran itu ketika hari senin. Tulisannya banyak membahas perkotaan beserta segala problematikanya. Penjelasannya dalam tulisan sama ringan dan menggigitnya ketika dia menyuarakan materi sacara langsung.




Alumni 2006 S2 Universitas Hawai itu memiliki retorika khas dalam menyajikan khutbah ilmiahnya. Berbicara bak air mengalir, kalimatnya terstruktur rapih, diksinya selektif seolah sudah tertulis dan dihafalkannya, intonasinya variatif penuh kharismatik.

“Smart City katanya, tapi di perlimaan andalas –tempat padat kendaraan– ada layar besar terpampang di sana; menampilkan program pemerintah. Kita mau disuruh hati-hati berkendara atau mau disuruh nonton!” pernyataannya sontak membuat peserta Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dan Cerpen senyum-senyum menyindir: “benturan” tata kota dan julukannya.

Senin, 16 Mei 2016, kami sempat berkunjung ke rumahnya di Limboto. Kami perginya habis maghrib. Sore sebelumnya –setelah demonstran anti PKI banting haluan menjadi anti Warek 3 UNG– kami sudah konfirmasi. Alumni S3 Unversitas Leiden itu mengintruksikan kepada kami untuk membaca tulisannya yang baru saja terbit di koran. Tulisannya berhubungan dengan anak dan pendidikan. Membaca tulisannya semacam syaratlah kalau mau berjumpa. Biar ada bahan diskusi barangkali.

Dalam tulisannya tersebut, dosen kelahiran 1974 itu mengisahkan makna “kebohongan” anaknya: Saat hari sekolah, anaknya mengaku sakit, diizinkanlah ia beristrahat di rumah. Beberapa jam kemudian, anaknya yang masih SD itu terlihat ceria bermain. Bapaknya memaklumi bahwa sakitnya hanya dibuat-buat. Semacam strategi untuk mengusir kejenuhan rutinitasnya bersekolah.

“Sekolahkan berasal dari bahasa latin skhole artinya waktu luang. Sekolah harusnya menjadi tempat yang menyenangkan.” Demikian penerangannya ketika kami menyoal anaknya yang sakit.

Ia tinggal di perumahan. “Kawasan cendana juga rumahnya,” begitu kira-kira Pramono menilainya. Rumah-rumah yang berdiri di wilayah  Hepuhulawa  itu memang besar-besar, pagarnya saja tinggi-tinggi, termasuk rumahnya Pak Basri Amin.

Bangunan rumah adalah permanen dan rumah sendiri yang dibangun sekitar tahun 2008-2009 dan ditempati sebelum beliau menjadi dosen di UNG.

Bukan hanya kami yang berprasangka rumah ini elitis. Handaitolan beliau juga sering menyebut rumah ini cukup besar. Basri Amin dan keluarga tidak pernah membesitkan di dalam hatinya sebagaimana penilaian teman-temannya, termasuk kami, anak didiknya. Rumah ini memang besar, tapi bukan untuk menunjukkan kebesaran. Rumah memang harus besar agar ribuan buku dan dokumen tersimpan dengan baik di ruang perpustakaan pribadi.

Kekasihnya, Wati Razak Unonongo berperan besar dalam pembanguna rumah. Dia adalah bendahara dan manager terbaik. Pembenahan keuangan dimulai sekitar 2004. Salah satu sumber anggarannya berasal dari beasiswa Belanda yang ditabung sedikit demi-sedikit. Juga dari tabungan hasil kerja sekian tahun di Yayasan Serat Manado. Sejak 2000-2003 posisi beliau adalah Manajer Program USAID untuk resolusi konflik di Manado. Jadi, bisa dibilang rumah ini adalah rumah beasiswa Hawaii dan Leiden serta hasil kerja dari Manado.

Masa sewa-menyewa telah berakhir. Keluarga Basri Amin menetap di Gorontalo sejak 2006. Awal karir di Gorontalo dilalui dengan mengontrak rumah dan telah berpindah kontrakan dua kali. Hunggaluwa di Limboto menjadi saksi perjuangan hidup bersama keluarga.

Waktu kami tiba, beliau tidak ada di rumah. Beberapa menit kemudian barulah dia datang bersama mobilnya. Lalu kami dipersilahkan masuk melalui halaman samping. 

Awal-awal pembicaraan, kami diminta memperkenalkan diri satu persatu. Teman-teman Komunikasi UNG ada sekitar enam orang –yang saya ingat cuman Defri sama ketua Pers Merah Marun, Ilyas– mereka semua wartawan kampus. Ada juga satu kawan dari Palu, kalau tidak salah namanya, Hendra. Kami lebih banyak membahas wacana intelektual dikalangan mahasiswa.

Menurut Basri Amin, Gorontalo belum ada satu fase yang menunjukkan kebangkitan intelektual yang ditandai dengan kultur literasinya. Kultur lisan masih dominan ketimbang tulisan.

Beda dengan Palu, sebagaimana yang diungkapkan Hendra. Di sana sudah lama aktif budaya tulis-menulisnya. Alumni Palu itu juga menyayangkan kondisi tersebut. Padahal, banyak tokoh literasi jempolan Indonesia asal Gorontalo. Sebut saja: H.B. Jassin dan J.S Badudu.

“Daerah ini hanya kebagian ‘memproduksi’ gen-gen cerdasnya,” balas Basri Amin.

Rumah Pak Basri amin cukup luas, ciri orang berduit. Seolah membaca pikiran kami, beliau menegaskan kediamannya hanyalah rumah kontrak.

Kami juga sempat mendengar percakapan bahasa Inggris antara beliau dan putrinya.

Berbeda dengan kampusku dulu ketika Rektor UNG –Syamsu Qomar Badu– menghimbau kepada seluruh civitas agar setiap spanduk yang dibuat, berbahasa Inggris. Tujuannya sudah jelas, apa lagi gerbang pasar bebas telah terbuka. Selang beberapa hari, orasi mahasiswa bergema. Mereka menganggap kebijakan tersebut menciderai nasionalisme; bahasa lokal hampir punah, bukannya melestarikan justru harus terganti bahasa Asing. Massa aksi meminta agar kebijakan tersebut dihilangkan.

Rektor turun langsung menghadapi tuntutan mahasiswa. Dalam orasinya, rektor dua priode itu mengungkapkan ketidak terkaitan antara terdegradasinya bahasa lokal dengan penerapan bahasa asing. Benar juga sih.

Dalam percakapan selanjutnya, Dosen sekaligus Penasehat Aji Gorontalo itu meminta kami mengevaluasi cara mengajarnya. Mula-mula si Gondrong Defri yang berkomentar. Katanya, teman-teman seangkatannya banyak yang kurang mengerti ketika Bapak menjelaskan.

Saya juga menceritakan apa yang dialami oleh mahasiswa Geografi semester empat. Adik-adik tingkatku itu pernah bilang ke saya kalau mereka kurang mengerti dengan pemaparan Bapak. Saya juga bilang, “Beda level barangkali pak.”

Basri Amin terkejut dengan tanggapan terahirku, “tidak boleh bicara begitu,” imbuhnya.

Kenyataannya memang demikian. Ada beberapa yang kurang tanggap dengan penjelasan Basri Amin. Mahasiswa kurang wacana; kurang menambah informasi dengan banyak membaca dan kajian.

Secara pribadi, pertemuan dengan pak Basri amin dalam bingkai persahabatan ini sudah yang ke dua kalinya. Pertemuan sebelumnya, tatap muka itu terjadi di atas lantai beralaskan baliho, kami bentangkan sebelum tangga masuk pintu Pasca Sarjana –rekorat lama, tempat parkir mobil rektor. Waktu itu atas nama “Harmoni Akademik” kami menyelenggarakan diskusi nalar ke tiga, bertajuk “Kontras Peradaban: Degradasi UNG Sebagai Kampus Peradaban”. Peserta yang hadir: Erni dan Windra (teman kontrakan), jamal; Pramono Putra (moderator), dan asistennya pak Basri Amin.

Selaku pelaksana –saya dan Pramono– sempat down dengan jumlah peserta yang minim. Pamflet yang kami sebar ke Paguyuban-paguyuban serta yang kami pajang hampir disetiap sudut kampus, rupanya kurang diminati. Harmoni Akademik bargaining power-nya masih di bawah.

Awalnya sempat ragu, pertama kali menghubungi beliau. Ketika beberapa langkah meninggalkan ruang kuliah Geografi, saya menghampirinya, memperkenalkan singkat agenda diskusi, meminta kesediaanya.

“Iya, diatur saja waktunya. Silahkan minta nomor saya sama keting,” beliau merespon baik.

Setelah meminta nomornya ke Iksan, keting, angkatan 2014. Malamnya saya informasikan judul diskusi, tampat, dan waktu pelaksanaan. Beliau kembali mengiyakan dan meminta kami membuat TOR diskusi, lalu mengirim ke emailnya. Baru kali itu saya mendengar istilah TOR.

Hasil pencarian di mbah Google menunjukkan, TOR itu semacam petunjuk teknis –lebih sederhana dari proposal kegiatan. Tapi, yang kami buat hanya sebatas dasar pemikiran dari judul diskusi.

Jadilah kami menorehkan pemahaman di atas kertas. Tulisan itu kami share via facebook. Diskusi dunia maya meletus saat Mantan Mentri Advokasi dan Ham, Zulkifli A.B. Hasan, ikut membagikan dan menandai beberapa tokoh UNG.




Diskusi nalar sesi III terselenggara pada 17 Januari 2016. Dalam prolognya, Basri Amin menyampaikan bahwa kegiatan ini menyentuh kenangannya 20 tahun yang lalu, ketika semangat idealismenya memuncak –semangat yang terus menyala hingga kini, menurutku.

Peserta yang hadir tidak menjadi soal baginya, sebagaimna surutnya motivasi kami. Sejarah intelektual justru hadir dari segelintir orang. Intelektual Eropa, menurut Pemateri, seusai kajian mereka pulang berkawankan bir seraya melantunkan Gaudeamus Igitur –biasa dinyanyikan ketika wisuda– cara sederhana merayakan atas apa yang baru mereka kerjakan.

Semangat kami kembali berkobar. Sama semangatnya ketika TOR itu kami kirim ke Gorontalo Pos.

*Mohon maaf bila ada kekeliruan informasi. tulisan ini berdasarkan kisah yang terekam di memori otak dan beberapa dari referensi luar.

No comments :