Siapa yang tidak kenal namanya? Insan akademis sudah tentu tidak
asing dengan nama itu, begitu pula birokrasi pemerintahan. Tidak hanya di
negeri serambi madinah, namanya lebih dulu familiar di Sulawesi Utara dan
Maluku.
Saya ingin menyebutnya sebagai Intelektual. Sumbangsih pemikiran lokal dan nasionalnya tidak diragukan lagi. Jurnal ilmiahnya sudah nimbrung ke taraf Internasional. Ia dosen yang sangat produktif.
Tiap senin, Gorontalo Pos menerbitkan gagasannya. Dalam bukunya
“Membaca Indonesia: Perubahan Sosial & Pergolakan pemikiran” ia mengaku
telah bekerjasama untuk mengisi “Persepsi-Spektrum Sosial” pada media cetak
tersebut sejak tahun 2012. Kebiasaanya menulis sudah dirintis sejak
bermahasiswa di Universitas Sam Ratulangi Manado, 1993.
Saya suka membeli koran itu ketika hari senin. Tulisannya banyak
membahas perkotaan beserta segala problematikanya. Penjelasannya dalam tulisan
sama ringan dan menggigitnya ketika dia menyuarakan materi sacara langsung.
Alumni 2006 S2 Universitas Hawai itu memiliki retorika khas dalam
menyajikan khutbah ilmiahnya. Berbicara bak air mengalir, kalimatnya
terstruktur rapih, diksinya selektif seolah sudah tertulis dan dihafalkannya,
intonasinya variatif penuh kharismatik.
“Smart City katanya, tapi di perlimaan andalas –tempat padat
kendaraan– ada layar besar terpampang di sana; menampilkan program pemerintah.
Kita mau disuruh hati-hati berkendara atau mau disuruh nonton!” pernyataannya
sontak membuat peserta Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dan Cerpen
senyum-senyum menyindir: “benturan” tata kota dan julukannya.
Senin, 16 Mei 2016, kami sempat berkunjung ke rumahnya di Limboto.
Kami perginya habis maghrib. Sore sebelumnya –setelah demonstran anti PKI
banting haluan menjadi anti Warek 3 UNG– kami sudah konfirmasi. Alumni S3
Unversitas Leiden itu mengintruksikan kepada kami untuk membaca tulisannya yang
baru saja terbit di koran. Tulisannya berhubungan dengan anak dan pendidikan.
Membaca tulisannya semacam syaratlah kalau mau berjumpa. Biar ada bahan diskusi
barangkali.
Dalam tulisannya tersebut, dosen kelahiran 1974 itu mengisahkan
makna “kebohongan” anaknya: Saat hari sekolah, anaknya mengaku sakit,
diizinkanlah ia beristrahat di rumah. Beberapa jam kemudian, anaknya yang masih
SD itu terlihat ceria bermain. Bapaknya memaklumi bahwa sakitnya hanya
dibuat-buat. Semacam strategi untuk mengusir kejenuhan rutinitasnya bersekolah.
“Sekolahkan berasal dari bahasa latin skhole artinya waktu luang.
Sekolah harusnya menjadi tempat yang menyenangkan.” Demikian penerangannya
ketika kami menyoal anaknya yang sakit.
Ia tinggal di perumahan. “Kawasan cendana juga rumahnya,” begitu
kira-kira Pramono menilainya. Rumah-rumah yang berdiri di wilayah
Hepuhulawa itu memang besar-besar, pagarnya saja tinggi-tinggi, termasuk
rumahnya Pak Basri Amin.
Bangunan rumah adalah permanen dan rumah sendiri yang dibangun sekitar tahun 2008-2009 dan ditempati sebelum beliau menjadi dosen di UNG.
Bukan hanya kami yang berprasangka rumah ini elitis. Handaitolan beliau juga sering menyebut rumah ini cukup besar. Basri Amin dan keluarga tidak pernah membesitkan di dalam hatinya sebagaimana penilaian teman-temannya, termasuk kami, anak didiknya. Rumah ini memang besar, tapi bukan untuk menunjukkan kebesaran. Rumah memang harus besar agar ribuan buku dan dokumen tersimpan dengan baik di ruang perpustakaan pribadi.
Kekasihnya, Wati Razak Unonongo berperan besar dalam pembanguna rumah. Dia adalah bendahara dan manager terbaik. Pembenahan keuangan dimulai sekitar 2004. Salah satu sumber anggarannya berasal dari beasiswa Belanda yang ditabung sedikit demi-sedikit. Juga dari tabungan hasil kerja sekian tahun di Yayasan Serat Manado. Sejak 2000-2003 posisi beliau adalah Manajer Program USAID untuk resolusi konflik di Manado. Jadi, bisa dibilang rumah ini adalah rumah beasiswa Hawaii dan Leiden serta hasil kerja dari Manado.
Masa
sewa-menyewa telah berakhir. Keluarga Basri Amin menetap di Gorontalo sejak
2006. Awal karir di Gorontalo dilalui dengan mengontrak rumah dan telah
berpindah kontrakan dua kali. Hunggaluwa di Limboto menjadi saksi perjuangan
hidup bersama keluarga.
Bangunan rumah adalah permanen dan rumah sendiri yang dibangun sekitar tahun 2008-2009 dan ditempati sebelum beliau menjadi dosen di UNG.
Bukan hanya kami yang berprasangka rumah ini elitis. Handaitolan beliau juga sering menyebut rumah ini cukup besar. Basri Amin dan keluarga tidak pernah membesitkan di dalam hatinya sebagaimana penilaian teman-temannya, termasuk kami, anak didiknya. Rumah ini memang besar, tapi bukan untuk menunjukkan kebesaran. Rumah memang harus besar agar ribuan buku dan dokumen tersimpan dengan baik di ruang perpustakaan pribadi.
Kekasihnya, Wati Razak Unonongo berperan besar dalam pembanguna rumah. Dia adalah bendahara dan manager terbaik. Pembenahan keuangan dimulai sekitar 2004. Salah satu sumber anggarannya berasal dari beasiswa Belanda yang ditabung sedikit demi-sedikit. Juga dari tabungan hasil kerja sekian tahun di Yayasan Serat Manado. Sejak 2000-2003 posisi beliau adalah Manajer Program USAID untuk resolusi konflik di Manado. Jadi, bisa dibilang rumah ini adalah rumah beasiswa Hawaii dan Leiden serta hasil kerja dari Manado.
Waktu kami tiba, beliau tidak ada di rumah. Beberapa menit
kemudian barulah dia datang bersama mobilnya. Lalu kami dipersilahkan masuk
melalui halaman samping.
Awal-awal pembicaraan, kami diminta memperkenalkan diri satu
persatu. Teman-teman Komunikasi UNG ada sekitar enam orang –yang saya ingat
cuman Defri sama ketua Pers Merah Marun, Ilyas– mereka semua wartawan kampus.
Ada juga satu kawan dari Palu, kalau tidak salah namanya, Hendra. Kami lebih banyak membahas wacana intelektual dikalangan
mahasiswa.
Menurut Basri Amin, Gorontalo belum ada satu fase yang menunjukkan
kebangkitan intelektual yang ditandai dengan kultur literasinya. Kultur lisan
masih dominan ketimbang tulisan.
Beda dengan Palu, sebagaimana yang diungkapkan Hendra. Di sana
sudah lama aktif budaya tulis-menulisnya. Alumni Palu itu juga menyayangkan
kondisi tersebut. Padahal, banyak tokoh literasi jempolan Indonesia asal
Gorontalo. Sebut saja: H.B. Jassin dan J.S Badudu.
“Daerah ini hanya kebagian ‘memproduksi’ gen-gen cerdasnya,” balas
Basri Amin.
Rumah Pak Basri amin cukup luas, ciri orang berduit. Seolah
membaca pikiran kami, beliau menegaskan kediamannya hanyalah rumah kontrak.
Kami juga sempat mendengar percakapan bahasa Inggris antara beliau
dan putrinya.
Berbeda dengan kampusku dulu ketika Rektor UNG –Syamsu Qomar Badu–
menghimbau kepada seluruh civitas agar setiap spanduk yang dibuat, berbahasa
Inggris. Tujuannya sudah jelas, apa lagi gerbang pasar bebas telah terbuka.
Selang beberapa hari, orasi mahasiswa bergema. Mereka menganggap kebijakan
tersebut menciderai nasionalisme; bahasa lokal hampir punah, bukannya
melestarikan justru harus terganti bahasa Asing. Massa aksi meminta agar
kebijakan tersebut dihilangkan.
Rektor turun langsung menghadapi tuntutan mahasiswa. Dalam
orasinya, rektor dua priode itu mengungkapkan ketidak terkaitan antara
terdegradasinya bahasa lokal dengan penerapan bahasa asing. Benar juga sih.
Dalam percakapan selanjutnya, Dosen sekaligus Penasehat Aji
Gorontalo itu meminta kami mengevaluasi cara mengajarnya. Mula-mula si Gondrong
Defri yang berkomentar. Katanya, teman-teman seangkatannya banyak yang kurang
mengerti ketika Bapak menjelaskan.
Saya juga menceritakan apa yang dialami oleh mahasiswa Geografi
semester empat. Adik-adik tingkatku itu pernah bilang ke saya kalau mereka
kurang mengerti dengan pemaparan Bapak. Saya juga bilang, “Beda level
barangkali pak.”
Basri Amin terkejut dengan tanggapan terahirku, “tidak boleh
bicara begitu,” imbuhnya.
Kenyataannya memang demikian. Ada beberapa yang kurang tanggap
dengan penjelasan Basri Amin. Mahasiswa kurang wacana; kurang menambah
informasi dengan banyak membaca dan kajian.
Secara pribadi, pertemuan dengan pak Basri amin dalam bingkai
persahabatan ini sudah yang ke dua kalinya. Pertemuan sebelumnya, tatap muka
itu terjadi di atas lantai beralaskan baliho, kami bentangkan sebelum tangga
masuk pintu Pasca Sarjana –rekorat lama, tempat parkir mobil rektor. Waktu itu
atas nama “Harmoni Akademik” kami menyelenggarakan diskusi nalar ke tiga,
bertajuk “Kontras Peradaban: Degradasi UNG Sebagai Kampus Peradaban”. Peserta
yang hadir: Erni dan Windra (teman kontrakan), jamal; Pramono Putra
(moderator), dan asistennya pak Basri Amin.
Selaku pelaksana –saya dan Pramono– sempat down dengan jumlah
peserta yang minim. Pamflet yang kami sebar ke Paguyuban-paguyuban serta yang
kami pajang hampir disetiap sudut kampus, rupanya kurang diminati. Harmoni
Akademik bargaining power-nya masih di bawah.
Awalnya sempat ragu, pertama kali menghubungi beliau. Ketika
beberapa langkah meninggalkan ruang kuliah Geografi, saya menghampirinya,
memperkenalkan singkat agenda diskusi, meminta kesediaanya.
“Iya, diatur saja waktunya. Silahkan minta nomor saya sama
keting,” beliau merespon baik.
Setelah meminta nomornya ke Iksan, keting, angkatan 2014. Malamnya
saya informasikan judul diskusi, tampat, dan waktu pelaksanaan. Beliau kembali
mengiyakan dan meminta kami membuat TOR diskusi, lalu mengirim ke emailnya. Baru
kali itu saya mendengar istilah TOR.
Hasil pencarian di mbah Google menunjukkan, TOR itu semacam
petunjuk teknis –lebih sederhana dari proposal kegiatan. Tapi, yang kami buat
hanya sebatas dasar pemikiran dari judul diskusi.
Jadilah kami menorehkan pemahaman di atas kertas. Tulisan itu kami
share via facebook. Diskusi dunia maya meletus saat Mantan Mentri Advokasi dan
Ham, Zulkifli A.B. Hasan, ikut membagikan dan menandai beberapa tokoh UNG.
Diskusi nalar sesi III terselenggara pada 17 Januari 2016. Dalam
prolognya, Basri Amin menyampaikan bahwa kegiatan ini menyentuh kenangannya 20
tahun yang lalu, ketika semangat idealismenya memuncak –semangat yang terus
menyala hingga kini, menurutku.
Peserta yang hadir tidak menjadi soal baginya, sebagaimna surutnya
motivasi kami. Sejarah intelektual justru hadir dari segelintir orang.
Intelektual Eropa, menurut Pemateri, seusai kajian mereka pulang berkawankan
bir seraya melantunkan Gaudeamus Igitur –biasa dinyanyikan ketika wisuda– cara
sederhana merayakan atas apa yang baru mereka kerjakan.
Semangat kami kembali berkobar. Sama semangatnya ketika TOR itu
kami kirim ke Gorontalo Pos.
*Mohon maaf bila ada kekeliruan informasi. tulisan ini berdasarkan
kisah yang terekam di memori otak dan beberapa dari referensi luar.


No comments :
Post a Comment