Siapa yang tidak kenal namanya? Insan akademis sudah tentu tidak
asing dengan nama itu, begitu pula birokrasi pemerintahan. Tidak hanya di
negeri serambi madinah, namanya lebih dulu familiar di Sulawesi Utara dan
Maluku.
Showing posts with label PERSPEKTIF. Show all posts
Showing posts with label PERSPEKTIF. Show all posts
Saturday, January 14, 2017
Monday, October 24, 2016
YANG LEBIH DITAKUTKAN SOEHARTO DARIPADA PKI
Suramnya
jalan itu sudah apik dikisahkan Dedi Padiku, dalam bukunya “Mengejar-ngejar
Mimpi” yang saya baca di bawah rinai hujan samping TVRI kota serambi Madinah.
Pemuda asal Suwawa yang kini bekerja di Jakarta itu menuturkan, sewaktu ia
menempuh pendidikan di salah satu
sekolah kejuruan termasyhur di Kota Gorontalo, jumlah peminat dan kuota
siswa baru yang disediakan calon sekolahnya terpaut jauh. Dia bersyukur karena
dapat diterima melalui jalur resmi. Sementara yang gagal hanya bisa gigit jari.
Punglipun menjadi alternatif terbaik untuk memuluskan keinginan beberapa
“orang-orang gagal tapi berduit” untuk bersekolah di tempat itu.
Kejadian di
atas hanyalah salah satu dari ribuan pintu-pintu aktualisasi Pungli yang kerap
terjadi di negara yang konon dijajah Belanda selama 31/2 abad ini.
Berawal dari
operasi tangkap tangan yang dilakukan Kepolisian di Kementrian Perhubungan atas
laporan kementrian itu sendiri atas maraknya kelicinan dalam instansinya,
perang melawan Pungli semakin dikobarkan ditandai dengan dilahirkannya satuan
tugas khusus di bawah kekangan Menko Polhukam Wiranto.
Kejadian
miris tersebut tidak luput pula dari pantauan masyarakat. Bagai membersihkan
dengan sapu yang kotor, begitu kata khalayak. Rahasia umum itupun dikuak bahwa
dalam tubuh sehat kepolisian terdapat jiwa bernoda. Mereka tidak pantas
melakukan operasi sebab dalam tubuhnya sendiri mengalir darah Pungli. Jika
demikian siapa berani memandikan buaya? Cicak versus Buaya sudah lewat, Kan
janggal juga bila Nusron harus turun tangan, karena hanya tangannya yang tau
untuk apa dia turun.
Dalam
sejarahnya, “Pungli lebih dulu ada ketimbang kemerdekaan Indonesia. Pungli tak
terpisahan dari kehidupan. Ia ada disetiap tempat yang berhubungan dengan
pelayanan,” ungkap James Luhulima dalam kolom politik Kompas. Bahkan, menurut
Adi Andojo Soetjibto, “Sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di negeri ini sudah
ada yang namanya upeti. Di zaman penjajahan Belanda juga sudah ada ungkapan
‘voor war, hoort wat’ (untuk apa, tentu ada apa-apanya).” Dalam paragraf lain
pada Opini Kompas, Adi A.S menuliskan, “memberantas pungli tidaklah mudah,
karena pungli di negeri ini tidak dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi
lebih sebagai kebiasaan yang sudah membudaya.”
Bagi
Soeharto, Pungli lebih mengerikan daripada PKI. Tiga puluh dua tahun
kepemimpinannya, Pungli selalu mengusiknya. 16 Juni 1977, Bapak Pengutang itu
bahkan memerintahkan lembaga tersangar di eranya, Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) agar Pungli disapu bersih. Terkaman singa itu membuahkan
hasil, Pungli mereda, masyarakat tersenyum bangga. Namun, Kepala Staf
Kopkamtib, Laksamana Sudomo beda perasaan dengan publik. Menurutnya, gerakan
yang dipimpinnya hanya sebatas pemantik, tak bisa terus dilakukan. Pungli
sungguh sulit diberantas dari luar. Ia menyarankan, agar penyakit ini lenyap
maka setiap lembaga mesti membentuk sistem imunnya sendiri. Apa hendak dikata,
sistem pengawasan internal tidak berjalan baik. Pungli kembali bangkit dan
terus menggerogoti.
“Pada masa
Soeharo,” tulis Adi A.S, Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung, ada usaha lain yang
sempat dilakukan demi memberantas Pungli ini. Waktu itu, Menteri Penertiban
Aparatur Negara, JB Sumarlin menyamar sebagai rakyat biasa. Ia menginspeksi
mendadak ke satu rumah sakit dan menindak langsung petugas yang melakukan
Pungli. Sayang, menurutnya, gerakan itu hanyalah gerakan tak berkepanjangan.
Karenya, Pungli kian marak hingga kini. Ia pun berharap, satgas khusus yang
baru dibentuk Jokowi bukanlah gebrakan sesaat, yang nasibnya hanya meledak
lantas hilang diperjalanan.
Meski di
sisi lain ada nada pesimis terpendam, namun api optimis jangan sampai padam, ia
harus tetap menyala menerangi malam. Hanya harapan yang dapat membuat hidup
terus berlanjut. Kepercayaan masyarakat tak kalah penting agar pemerintah
melangkah tanpa takut. Pemberantasan Pungli tengah berlangsung, partisipasi
masyarakat jangan dipasung. Semua elemen dari unsur tekecil hingga raksasa:
baik itu sistem maupun manusia selaku perancang sistem dan pelaksana sistem
tersebut, mari sama-sama mengerjakan amal kebaikan, mentaati kebenaran, dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al Ashr :3).
Sumber: 85%
Kompas 22/10/16
Saturday, April 23, 2016
MESKI TAK MENGAPA, MENGAPA MENOLAK KEDATANGAN JOKOWI?
Lagi dan lagi, barisan pemuda Gorontalo berdiri gagah di
perempatan depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo, dengan isu
“menolak kedatangan Jokowi.” Kinerja Jokowi dipertanyakan, karena sampai dengan
detik ini realisasi program nasionalnya kurang terasa dan kurang berpihak pada
rakyat.
Sunday, March 13, 2016
HARMONI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA GORONTALO
Seperti
kerendahhatian yang ditunjukkan air dengan sifatnya “taluhu sifati moopa”
(mencari tempat yang rendah). Yang berilmu laksana padi, makin berisi makin
merunduk.
Tuesday, December 8, 2015
DEGRADASI KAMPUS PERADABAN -UNG
Teringat betul waktu kali pertama berkuliah di kampus Universitas
Negeri Gorontalo (UNG) pada 2011 silam. Kampus ini tidak hanya dikenal sebagai
kampus merah maron karena almamaternya berwarna demikian. Tetapi, juga dijuluki
sebagai kampus peradaban. Julukan yang disandang ini masih dapat dijumpai
karena tetap terpampang pada pertigaan antara Fakultas Pertanian dan jalan
menuju Auditorium UNG. Tidak mengherankan, jika selanjutnya civitas akademika
terutama para mahasiswa senior selalu mendoktrin mahasiswa baru dengan
keyakinan bahwa mahasiswa yang ditempa di Universitas terhormat ini akan
melahirkan martir-martir peradaban baru yang akan mengantarkan daerah dan dan
bangsa pada kesejajaran dengan negara-negara maju lainnya.
Tuesday, June 17, 2014
Mengguncang Hari Bumi
Hari Bumi
dengan masalah Pemanasan Globalnya adalah salah satu masalah yang menjadi
perhatian khusus para mahasiswa geografi di se-entaro Indonesia. Termasuk
mahasiswa geografi yang berada di kampus Peradaban-Merah Maron, UNG. Bahkan,
perayaan ini ibarat sudah menjadi ke-WAJIB-an.
“MIPA SATU” SLOGAN ataukah KENYATAAN
Fakultas
Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dalam menghadapi panggung politik
PILPRES BEM, dianggap tidak lagi memilki peran dan sumbangsi yang berarti.
Beberapa tahun terakhir ini saja, MIPA tidak mampu melahirkan kader yang dapat
memangku jabatan tertinggi dalam tataran dunia keorganisasian mahasiswa
tersebut. Namun, jika hari ini ada mahasiswa dari fakultas MIPA yang memilki
integritas, kualitas, dan kapasitas untuk bertarung pada pemilihan presiden BEM,
mengapa tidak untuk didukung
ANTARA SERUAN DAN PERBUATAN
Unjuk
rasa ataupun demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis-aktivis
mahasiswa saat ini, merupakan aksi nyata dalam menjalankan fungsi
mahasiswanya sebagai agent of
change, Agent of control dan moral force.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)