Saturday, September 17, 2016

MAHASISWA MIPA UNG MENOLAK BIAYA RAMAH TAMAH

Sumber: fb. Fakultas MIPA
Jalan Andalas, samping kantor Dewan Perwakilan Rakyat kota Gorontalo, di sinilah Grand Palace Convention Centre berdiri megah. Pintunya terbuat dari kaca tebal tak berwarna, di depannya ada air tergenang. Jenuhan titik air dari mendung awan baru saja mengguyur 30 Agustus 2016. Tempat ini termasuk gedung baru di kota yang merdeka 23 januari 1942. Gedung-gedung di sisi kiri dan kanan berjejar mengikuti jalan. Tempat ini dulunya adalah sawah. Termasuk gedung yang sebentar malam akan kami gunakan dalam acara ramah tamah wisudawan (wati).Tersiar kabar, jurusan Matematika dan Biologi tarik diri dari kegiatan yang diselenggarakan Fakultas MIPA UNG ini. Mahalnya biaya ramah tamah itulah alasannya. Dalam gedung, telah duduk rapih dari kiri ke kanan: Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan tentu Geografi terakhir lagi. Kehadiran kedua jurusan, menyangkal isu tersebut.
Urutan duduk mahasiswa berdasarkan IPK, urutannya sama saat Yudisium 1 Agustus dan wisuda besok. Ada enam baris kursi Geografi. Tiap shaf terdapat enam kursi. Kursi yang memiliki nomor di sandarannya mulai diisi tuannya. Urutan ke delapan dari prodiku baru saja didengungkan oleh pria bekas mahasiswa Biologi. Setelahnya, adalah giliranku. Seketika namaku akan dipanggil, jantungku berdetak lebih cepat memicu bulir bening bercucuran deras melalui pori-pori leher dan ubun-ubun, saya bahkan sibuk mengusapnya hingga urutan terakhir, 36, usai dibacakan. Ruangan ini memang panas, ac belum dihidupkan. Kemeja bergaris horisontal biru dan putih yang kukenakan sejak kemarin, dua kancing atasnya kulepaskan saat nama Muhammad Al Dilwan yang kunanti-nantikan tak kunjung terdengar. Seperti mengidap asma,  uap kegusaran merambat tersengal melalui celah gingsulku. Saya duduk di deretan ke tujuh, paling belakang, tak bernomor, hanya kursi-kursi kosong di belakang yang menemani kesendirianku. Lirik iba teman-teman tertuju padaku. Tatapan mereka hanya bisa kubalas dengan ratapan berbalut senyum. Keberadaanku bagai setitik lubang di sudut kanan bawah kain putih.

Sepatu kets putih merahku bergegas menuju ke pria tinggi yang membacakan nama-nama kami. Wajahnya langsung berpaling ke kiri, tersungkur di samping meja bundar setelah kepalan tanganku mendarat tepat di pipi kanannya. Lendir merah mengalir dari bibir dan hidungnya. Teman-teman yang besok akan sama-sama diwisuda bersorak ramai seperti melihat Timnas Indonesia ketika berhasil membobol gawang Malaysia. “Padeti Dilwan,” suara mereka menggelegar terpantul-pantul dalam ruangan, kaca-kaca bergetar. Aku melangkah cepat ke depan lantas berjongkok memutar kepalanya hingga patah. Para dosen histeris, satpam gedung coba mengamankan. Kejadian itu berlangsung sekilas dalam bayangku ketika wajah tebalku melangkah pelan menuju ke pria tinggi yang membacakan nama-nama kami untuk memastikan apakah namaku benar-benar tidak terketik.

Saat malam, Geo 08 tarik kursi dan menemani
Nama-nama wisudawan kembali dipanggil sesuai urutan namanya. Lalu membentuk barisan seperti bebek. Antri mengambil undangan ini sekaligus tata cara pengambilan transkip nilai ketika acara nanti malam dilangsungkan. Saya ikut berdiri paling belakang. Saya berharap agar ac segera dinyalakan agar ledakan segera teredam. Dalam daftar nama pegangan panitia, nama Muhammad Al Dilwan tidak tertera. Saya pulang bersama tetesan hujan yang mengaliri hati.

Senyum Ayah Ibuku ketika memasuki kamar kontrakan menjadi pelipur lara. Saya ceritakan kepada mereka, bahwa sebentar malam anaknya yang sudah semester sebelas akan duduk sebagai penutup peserta. Kursi kalian juga paling belakang. Kita akan menghadiri acara tanpa undangan. Bukan berarti nilaiku paling rendah. Sedianya, saya duduk di urutan kesembilan, kalau saja saya tidak menolak membayar biaya ramah tamah Rp.450.000. Urutan 37, tidak resmi itu, saya peroleh setelah terpaksa membayarnya. Teman dari jurusan lain banyak juga yang seperti saya, hanya saja status mereka utang, jadi tetap terdaftar dan akan hadir bersama kertas undangan. Utang itu kamuflase, 50:50, mereka ragu untuk ikut, sebab acara ramah tamah fakultas terkesan formalitas dan buang-buang uang saja. Salah satu dari rincian biaya ramah tamah adalah untuk anak yatim, tapi sampai acara selesai anak-anak dari panti asuhan tidak sedikutpun terlihat. Kami merasa dibohongi. Andai saja kami barisan sakit hati terorganisir, pemboikotan pasti jelas adanya. Beberapa mahasiswa lama ada juga yang namanya tidak tercantum dan baru membayarnya setelah gladi dilaksanakan.

Ba’da maghrib, kami bertiga menyewa bentor yang mangkal di samping kantor kelurahan Heledulaa Utara. Penutup depan bentor saya minta ditutup, Ayah Ibuku tidak tahan terpaan angin dan debu. Saya duduk di belakang joki. Menuju lokasi, bentor menggilas jalan dua susun.


Versi Siang
Wisudawan MIPA malam ini mengenakan jas, dasi, celana hitam panjang, berpadu sepatu mengkilap. Dari setelan pejabat ini, anak buruh tani, nelayan, tidak nampak lagi. Sementara wisudawati pada lapisan kain pertama mengenakan gaun transparan dengan motif bunga-bunga. Jilbabnya dililit-lilit, rambut dianyam sedemikian rupa, penuh dekorasi. Bedak tebal melengket di wajah, kening diperhitam, ada juga yang cukur kemudian dilukis alisnya. Tisu siap sedia ditangan, antisipasi biar keringat tidak melunturkan riasan. Pendapatan salon malam ini dan besok subuh terdongkrak tinggi.

Tidak semua dari kami mencicipi acara ini bersama keluarga. Ada yang datang didampingi temannya, ada pula yang datang hanya seorang diri. Rugilah biaya ramah tamah, karena salah satu rinciannya adalah konsumsi dua pendamping. Seperti Husain, Geo 12, ia datang bersama temannya. Kawan seangkatan ( Geo 11), Rahmin Anuka, senasib dengan Husain. Dua seniorku termasuk yang datang tanpa pendamping. Alasannya, kediaman orang tua jauh, lebih baik menjaga kesehatan dengan berdiam di rumah. Saat yang lain sibuk berpose bersama keluarga, dua seniorku ini justru sibuk berfoto bersama keluarga barunya.




No comments :