Sumber: fb. Fakultas MIPA |
Jalan
Andalas, samping kantor Dewan Perwakilan Rakyat kota Gorontalo, di sinilah Grand
Palace Convention Centre berdiri megah. Pintunya terbuat dari kaca tebal tak berwarna, di
depannya ada air tergenang. Jenuhan titik air dari mendung awan baru saja
mengguyur 30 Agustus 2016. Tempat ini termasuk gedung baru di kota yang merdeka
23 januari 1942. Gedung-gedung di sisi kiri dan kanan berjejar mengikuti jalan.
Tempat ini dulunya adalah sawah. Termasuk gedung yang sebentar malam
akan kami gunakan dalam acara ramah tamah wisudawan (wati).Tersiar kabar, jurusan Matematika dan Biologi tarik diri dari kegiatan yang
diselenggarakan Fakultas MIPA UNG ini. Mahalnya biaya ramah tamah itulah alasannya.
Dalam gedung, telah duduk rapih dari kiri ke kanan: Matematika, Fisika, Kimia,
Biologi, dan tentu Geografi terakhir lagi. Kehadiran kedua jurusan, menyangkal
isu tersebut.
Urutan
duduk mahasiswa berdasarkan IPK, urutannya sama saat Yudisium 1 Agustus dan wisuda besok. Ada enam baris kursi
Geografi. Tiap shaf terdapat enam kursi. Kursi yang memiliki nomor di sandarannya
mulai diisi tuannya. Urutan ke delapan dari prodiku baru saja didengungkan oleh
pria bekas mahasiswa Biologi. Setelahnya, adalah giliranku. Seketika namaku
akan dipanggil, jantungku berdetak lebih cepat memicu bulir bening bercucuran
deras melalui pori-pori leher dan ubun-ubun, saya bahkan sibuk mengusapnya
hingga urutan terakhir, 36, usai dibacakan. Ruangan ini memang panas, ac belum
dihidupkan. Kemeja bergaris horisontal biru dan putih yang kukenakan sejak
kemarin, dua kancing atasnya kulepaskan saat nama Muhammad Al Dilwan yang kunanti-nantikan
tak kunjung terdengar. Seperti mengidap asma,
uap kegusaran merambat tersengal melalui celah gingsulku. Saya duduk di deretan
ke tujuh, paling belakang, tak bernomor, hanya kursi-kursi kosong di belakang
yang menemani kesendirianku. Lirik iba teman-teman tertuju padaku. Tatapan
mereka hanya bisa kubalas dengan ratapan berbalut senyum. Keberadaanku bagai
setitik lubang di sudut kanan bawah kain putih.
Sepatu
kets putih merahku bergegas menuju ke pria tinggi yang membacakan nama-nama
kami. Wajahnya langsung berpaling ke kiri, tersungkur di samping meja bundar setelah
kepalan tanganku mendarat tepat di pipi kanannya. Lendir merah mengalir dari
bibir dan hidungnya. Teman-teman yang besok akan sama-sama diwisuda bersorak
ramai seperti melihat Timnas Indonesia ketika berhasil membobol gawang
Malaysia. “Padeti Dilwan,” suara mereka menggelegar terpantul-pantul dalam
ruangan, kaca-kaca bergetar. Aku melangkah cepat ke depan lantas berjongkok
memutar kepalanya hingga patah. Para dosen histeris, satpam gedung coba
mengamankan. Kejadian itu berlangsung sekilas dalam bayangku ketika wajah
tebalku melangkah pelan menuju ke pria tinggi yang membacakan nama-nama kami
untuk memastikan apakah namaku benar-benar tidak terketik.
Saat malam, Geo 08 tarik kursi dan menemani |
Senyum
Ayah Ibuku ketika memasuki kamar kontrakan menjadi pelipur lara. Saya ceritakan
kepada mereka, bahwa sebentar malam anaknya yang sudah semester sebelas akan
duduk sebagai penutup peserta. Kursi kalian juga paling belakang. Kita akan
menghadiri acara tanpa undangan. Bukan berarti nilaiku paling rendah. Sedianya,
saya duduk di urutan kesembilan, kalau saja saya tidak menolak membayar biaya
ramah tamah Rp.450.000. Urutan 37, tidak resmi itu, saya peroleh setelah terpaksa
membayarnya. Teman dari jurusan lain banyak juga yang seperti saya, hanya saja
status mereka utang, jadi tetap terdaftar dan akan hadir bersama kertas
undangan. Utang itu kamuflase, 50:50, mereka ragu untuk ikut, sebab acara ramah
tamah fakultas terkesan formalitas dan buang-buang uang saja. Salah satu dari
rincian biaya ramah tamah adalah untuk anak yatim, tapi sampai acara selesai
anak-anak dari panti asuhan tidak sedikutpun terlihat. Kami merasa dibohongi.
Andai saja kami barisan sakit hati terorganisir, pemboikotan pasti jelas
adanya. Beberapa mahasiswa lama ada juga yang namanya tidak tercantum dan baru
membayarnya setelah gladi dilaksanakan.
Ba’da
maghrib, kami bertiga menyewa bentor yang mangkal di samping kantor kelurahan
Heledulaa Utara. Penutup depan bentor saya minta ditutup, Ayah Ibuku tidak
tahan terpaan angin dan debu. Saya duduk di belakang joki. Menuju lokasi,
bentor menggilas jalan dua susun.
Versi Siang |
Tidak semua dari kami mencicipi acara ini bersama keluarga. Ada yang datang didampingi temannya, ada pula yang datang hanya seorang diri. Rugilah biaya ramah tamah, karena salah satu rinciannya adalah konsumsi dua pendamping. Seperti Husain, Geo 12, ia datang bersama temannya. Kawan seangkatan ( Geo 11), Rahmin Anuka, senasib dengan Husain. Dua seniorku termasuk yang datang tanpa pendamping. Alasannya, kediaman orang tua jauh, lebih baik menjaga kesehatan dengan berdiam di rumah. Saat yang lain sibuk berpose bersama keluarga, dua seniorku ini justru sibuk berfoto bersama keluarga barunya.
No comments :
Post a Comment