Sunday, March 13, 2016

HARMONI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA GORONTALO

Seperti kerendahhatian yang ditunjukkan air dengan sifatnya “taluhu sifati moopa” (mencari tempat yang rendah). Yang berilmu laksana padi, makin berisi makin merunduk.


Tujuan belajar adalah untuk menemukan pengetahuan yang benar (ilmu). Ilmu menggiring pada kesadaran kritis, dengan kesadaran kemudian menjadi merdeka, baik dari kebodohan maupun keangkuhan. Dengan kemerdekaan kita kemudian berkarya. Pada akhirnya, bukan kondisi yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah kondisi. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan pendidikan Indonesia. Jangan sampai kita bersimpuh harap pada daerah/Negara yang hendak mencerdaskan kehidupan kita, jutru sebaliknya kitalah yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berbicara tentang pendidikan, orang tua mana yang tidak bangga bila anak-anaknya mampu mengeyam bangku sekolah hingga kuliah? Menjadi kebanggaan tersendiri pula bila seorang anak mampu disekolahkan terlebih lagi bila studi hingga ke luar daerah. “Posikola uti/noqu, alihu dila o akaliyo lo tawu” (pergilah menuntut ilmu nak, agar tidak ditipu orang) petuah orang tua pada saat memotivasi anaknya untuk terus belajar. Kita juga masih ingat ketika orang tua mengatakan “mau jadi apa kamu kalau tidak sekolah?”

Dalam budaya Gorontalo ada tradisi “moleleyangi” (merantau), dalam tradisi ini, para perantau dilepas oleh sanak keluarga dan orang-orang sekampung dengan harap dan kebesaran sebagai duta keluarga dan kampung. Tradisi ini berkembang menjadi status simbol, artinya bagi mereka yang pergi menuntut ilmu mempunyai kedudukan khusus dalam pandangan kehidupan sosial. Anggapan inilah yang mungkin masih membuat masyarakat begitu terbuka dengan suka dalam menerima kunjungan dan kegiatan mahasiswa. Jika mahasiswanya saja dapat dihormati begitu baiknya oleh masyarakat, lantas bagaimana dengan dosennya yang notabenenya adalah pendidik dan pengajar mahasiswa? Berkali lipatlah penghormatan itu. Masyarakat juga tidak terlalu ambil pusing dengan jabatan struktural para dosen, entah itu ketua jurusan atau dekan. Masyarakat hanya mengetahui para dosen adalah orang yang berbudi dengan ilmunya dan dengan ilmunya ia berkarya dan dosen derajatnya lebih tinggi daripada mahasiswa.

Pendidikan tinggi adalah puncak dalam proses pendidikan formal, disanalah penempaan akal, budi, dan raga. Meskipun kebanyakan masyarakat belum pernah membaca buku “Civitas Akademica” yang di dalamnya tertulis bahwa pendidikan tinggi adalah rumah yang mewah bagi pengetahuan dan kearifan yang terbentuk dari hasil belajar yang mendalam. Secara kolektif, pandangan masyarakat selaras dengan penulis bukunya yang sama-sama menyadari arti pendidikan tinggi dalam mendidik mahasiswa menjadi generasi harapan yang berpengetahuan luas, berbudi luhur, dan mampu bekerja secara totalitas.

Melalui media, masyarakat kemudian tercengang atas kelakuan para manusia bergelar Doktor-Profesor yang ternyata telah menodai nilai-nilai luhur dengan tidak sedikitnya para manusia bergelar ini mendekam dibalik jeruji dengan kasus-kasus pelecehan norma dan nurani. Padahal, tindakan seperti ini dianggap mutahil untuk dilakukan oleh orang-orang yang berpengetahuan tinggi. Masih segar dalam ingatan, tentang seorang Profesor sekaligus Guru Besar pada salah satu pendidikan tinggi ternama di Jawa, ketika ia diamanatkan menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, ternyata ilmunya bertekuk lutut dihadapan “uang”. Bumi Hulontalo pun tidak ketinggalan. Seperti baru-baru ini misalnya, di media marak diberitakan seorang mahasiswa kedapatan mengambil barang yang bukan haknya. 2013 kemarin, kita juga miris menyaksikan mahasiswa yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan masyarakat, justru bentrok dengan masyarakat yang diperjuangkannya. Kekagetan masyarakat kian bertambah dengan mencuatnya pemberitaan tindakan asusila yang dilakuka seorang dosen  terhadap mahasiswinya.

Keadaan ini menunjukkan betapa budaya “moolito” (malu) telah tergusur dan berganti dengan tindakan “moqolito” (memalukan). Padahal, ada sebuah istilah yang berbunyi “openu de momotiqo tulalo, bo dila momotiqo baya (lebih baik berputih tulang (mati) asal jangan berputih muka (malu) karena hukuman). Tidakkah kemudian nurani kita tersentak lalu bertanya sembari tertawa perih “apa sebenarnya yang telah diajarkan dan dipelajari di kampus? Masihkah kita harus percaya dengan pendidikan saat ini?” atau mungkin kita menjadi “Polahi” saja, lari dan bersembunyi dari kenyataan yang beringas.

“Kenyataan membentuk kesadaran” kata seorang sosiolog, Karl Marx. Kondisi pendidikan yang kian semrawut telah menggeser paradigma masyarakat terhadap pendidikan tinggi. Jika dulu sekolah bermakna mencari Ilmu dan membentuk budi pekerti, sekarang malah menjadi “Asali walauqu ma mowali sarjana” (yang penting anakku jadi sarjana). Kekeliruan berfikir yang diidap masyarakat masih bisa diubah bila pendidikan tinggi sadar akan tugas dan tanggung jawabnya.

Jika benar tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia (humanisasi) maka kampus adalah tempat tertinggi dan akhir, karena di sanalah berkumpul orang-orang berilmu. Mahasiswa adalah calon ilmuwan, dan fungsi seorang ilmuwan menurut Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. adalah secara terus-menerus melakukan kajian ilmiah dan ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Kita sama-sama memahami “kebenaran” adalah “keselarasan”, dan keselarasan mengantarkan pada “kemajuan”. Pendidikan tinggi saat ini seolah menampilkan ketidakselarasan dengan apa yang dicita-citakan masyarakat, yaitu ilmu yang tinggi dan budi yang luhur. Pendidikan kini justru menghamba pada budaya global yang rakus dan buas merusak sendi-sendi budaya lokal yang bertumpu pada alam.

Pada alamlah manusia banyak belajar arti keselarasan. Termasuk keselarasan antara manusia dengan alam itu sendiri. Dalam terminologi budaya Gorontalo, proses belajar dari alam disebut sebagai “adati asali” (adat yang sebenarnya). Alam tidak hanya menjadi guru, ia juga adalah sahabat manusia.  Manusia tak hanya hidup dari alam tapi ia juga harus hidup selaras dengan alam. Problematika banjir dan kekeringan yang akhir-akhir ini mendera, merupakan contoh daripada perbuatan masyarakat dan pemerintah yang tidak lagi selaras dengan alam.

Hidup yang benar merujuk pada keselarasan sebagaimana yang tunjukkan bumi dalam kesemestaan. Bila bumi mendekat 1 cm saja ke arah matahari, maka bumi ini akan habis terbakar. Begitupun sebaliknya, bila bumi bergerak menjauh 1 cm saja dari arah matahari, maka kehidupan akan mati membeku.

Sebagai daerah adat, Gorontalo menjunjung tinggi 3 keselarasan. Yaitu “aadati hula-hulaa to saraa, saraa hulu-halaa to Kuru‘ani” (adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Al-quran). Apabila adat tak selaras dengan syarak, adat itu menjadi batal, bila syarak tak selaras dengan Al-quran, syara itu menjadi gugur. Al-quran adalah sumber kebenaran hakiki yang dicipta selaras dengan fitrah (hati) manusia. Kebenaran adalah keselarasan: keselarasan antara tindakan dan ucapan, ucapan dan pikiraan, dan antara pikiran dan perasaan. Siklus keselarasan yang cukup sederhana meski tak jarang banyak menuai kesulitan dalam penerapannya sebagai akibat dari tekanan luar dan keserakahan diri. Meski bumi ini akan rubuh keselarasan haruslah tetap ditegakkan.

3 comments :

Yan Febriyani said...

mantap Dilwan (y)
jangan lupa juga Skrip** :D

Yan Febriyani said...

ditunggu kunjungan baliknya di http://kopiuntukmu.blogspot.co.id/
biar sebenarnya isi disana tidak sebermanfaat disini ;)

dilwanung said...

Ka Yuyan p Blog kren Abiss...