Seperti
kerendahhatian yang ditunjukkan air dengan sifatnya “taluhu sifati moopa”
(mencari tempat yang rendah). Yang berilmu laksana padi, makin berisi makin
merunduk.
Tujuan
belajar adalah untuk menemukan pengetahuan yang benar (ilmu). Ilmu menggiring
pada kesadaran kritis, dengan kesadaran kemudian menjadi merdeka, baik dari
kebodohan maupun keangkuhan. Dengan kemerdekaan kita kemudian berkarya. Pada
akhirnya, bukan kondisi yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah kondisi.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan pendidikan Indonesia. Jangan sampai
kita bersimpuh harap pada daerah/Negara yang hendak mencerdaskan kehidupan
kita, jutru sebaliknya kitalah yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berbicara
tentang pendidikan, orang tua mana yang tidak bangga bila anak-anaknya mampu
mengeyam bangku sekolah hingga kuliah? Menjadi kebanggaan tersendiri pula bila
seorang anak mampu disekolahkan terlebih lagi bila studi hingga ke luar daerah.
“Posikola uti/noqu, alihu dila o akaliyo lo tawu” (pergilah menuntut ilmu nak,
agar tidak ditipu orang) petuah orang tua pada saat memotivasi anaknya untuk
terus belajar. Kita juga masih ingat ketika orang tua mengatakan “mau jadi apa
kamu kalau tidak sekolah?”
Dalam budaya
Gorontalo ada tradisi “moleleyangi” (merantau), dalam tradisi ini, para
perantau dilepas oleh sanak keluarga dan orang-orang sekampung dengan harap dan
kebesaran sebagai duta keluarga dan kampung. Tradisi ini berkembang menjadi
status simbol, artinya bagi mereka yang pergi menuntut ilmu mempunyai kedudukan
khusus dalam pandangan kehidupan sosial. Anggapan inilah yang mungkin masih
membuat masyarakat begitu terbuka dengan suka dalam menerima kunjungan dan
kegiatan mahasiswa. Jika mahasiswanya saja dapat dihormati begitu baiknya oleh
masyarakat, lantas bagaimana dengan dosennya yang notabenenya adalah pendidik
dan pengajar mahasiswa? Berkali lipatlah penghormatan itu. Masyarakat juga
tidak terlalu ambil pusing dengan jabatan struktural para dosen, entah itu ketua
jurusan atau dekan. Masyarakat hanya mengetahui para dosen adalah orang yang
berbudi dengan ilmunya dan dengan ilmunya ia berkarya dan dosen derajatnya
lebih tinggi daripada mahasiswa.
Pendidikan
tinggi adalah puncak dalam proses pendidikan formal, disanalah penempaan akal,
budi, dan raga. Meskipun kebanyakan masyarakat belum pernah membaca buku
“Civitas Akademica” yang di dalamnya tertulis bahwa pendidikan tinggi adalah
rumah yang mewah bagi pengetahuan dan kearifan yang terbentuk dari hasil belajar
yang mendalam. Secara kolektif, pandangan masyarakat selaras dengan penulis
bukunya yang sama-sama menyadari arti pendidikan tinggi dalam mendidik
mahasiswa menjadi generasi harapan yang berpengetahuan luas, berbudi luhur, dan
mampu bekerja secara totalitas.
Melalui
media, masyarakat kemudian tercengang atas kelakuan para manusia bergelar
Doktor-Profesor yang ternyata telah menodai nilai-nilai luhur dengan tidak
sedikitnya para manusia bergelar ini mendekam dibalik jeruji dengan kasus-kasus
pelecehan norma dan nurani. Padahal, tindakan seperti ini dianggap mutahil
untuk dilakukan oleh orang-orang yang berpengetahuan tinggi. Masih segar dalam
ingatan, tentang seorang Profesor sekaligus Guru Besar pada salah satu
pendidikan tinggi ternama di Jawa, ketika ia diamanatkan menjadi ketua Mahkamah
Konstitusi, ternyata ilmunya bertekuk lutut dihadapan “uang”. Bumi Hulontalo
pun tidak ketinggalan. Seperti baru-baru ini misalnya, di media marak
diberitakan seorang mahasiswa kedapatan mengambil barang yang bukan haknya. 2013
kemarin, kita juga miris menyaksikan mahasiswa yang berunjuk rasa menuntut
kesejahteraan masyarakat, justru bentrok dengan masyarakat yang
diperjuangkannya. Kekagetan masyarakat kian bertambah dengan mencuatnya
pemberitaan tindakan asusila yang dilakuka seorang dosen terhadap mahasiswinya.
Keadaan ini
menunjukkan betapa budaya “moolito” (malu) telah tergusur dan berganti dengan
tindakan “moqolito” (memalukan). Padahal, ada sebuah istilah yang berbunyi
“openu de momotiqo tulalo, bo dila momotiqo baya (lebih baik berputih tulang
(mati) asal jangan berputih muka (malu) karena hukuman). Tidakkah kemudian
nurani kita tersentak lalu bertanya sembari tertawa perih “apa sebenarnya yang
telah diajarkan dan dipelajari di kampus? Masihkah kita harus percaya dengan pendidikan
saat ini?” atau mungkin kita menjadi “Polahi” saja, lari dan bersembunyi dari
kenyataan yang beringas.
“Kenyataan
membentuk kesadaran” kata seorang sosiolog, Karl Marx. Kondisi pendidikan yang
kian semrawut telah menggeser paradigma masyarakat terhadap pendidikan tinggi.
Jika dulu sekolah bermakna mencari Ilmu dan membentuk budi pekerti, sekarang
malah menjadi “Asali walauqu ma mowali sarjana” (yang penting anakku jadi
sarjana). Kekeliruan berfikir yang diidap masyarakat masih bisa diubah bila pendidikan
tinggi sadar akan tugas dan tanggung jawabnya.
Jika benar
tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia (humanisasi) maka kampus
adalah tempat tertinggi dan akhir, karena di sanalah berkumpul orang-orang
berilmu. Mahasiswa adalah calon ilmuwan, dan fungsi seorang ilmuwan menurut
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. adalah secara terus-menerus melakukan kajian
ilmiah dan ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kita
sama-sama memahami “kebenaran” adalah “keselarasan”, dan keselarasan
mengantarkan pada “kemajuan”. Pendidikan tinggi saat ini seolah menampilkan
ketidakselarasan dengan apa yang dicita-citakan masyarakat, yaitu ilmu yang
tinggi dan budi yang luhur. Pendidikan kini justru menghamba pada budaya global
yang rakus dan buas merusak sendi-sendi budaya lokal yang bertumpu pada alam.
Pada alamlah
manusia banyak belajar arti keselarasan. Termasuk keselarasan antara manusia
dengan alam itu sendiri. Dalam terminologi budaya Gorontalo, proses belajar
dari alam disebut sebagai “adati asali” (adat yang sebenarnya). Alam tidak
hanya menjadi guru, ia juga adalah sahabat manusia. Manusia tak hanya hidup dari alam tapi ia
juga harus hidup selaras dengan alam. Problematika banjir dan kekeringan yang
akhir-akhir ini mendera, merupakan contoh daripada perbuatan masyarakat dan
pemerintah yang tidak lagi selaras dengan alam.
Hidup yang
benar merujuk pada keselarasan sebagaimana yang tunjukkan bumi dalam
kesemestaan. Bila bumi mendekat 1 cm saja ke arah matahari, maka bumi ini akan
habis terbakar. Begitupun sebaliknya, bila bumi bergerak menjauh 1 cm saja dari
arah matahari, maka kehidupan akan mati membeku.
Sebagai
daerah adat, Gorontalo menjunjung tinggi 3 keselarasan. Yaitu “aadati
hula-hulaa to saraa, saraa hulu-halaa to Kuru‘ani” (adat bersendikan syarak,
syarak bersendikan Al-quran). Apabila adat tak selaras dengan syarak, adat itu
menjadi batal, bila syarak tak selaras dengan Al-quran, syara itu menjadi
gugur. Al-quran adalah sumber kebenaran hakiki yang dicipta selaras dengan
fitrah (hati) manusia. Kebenaran adalah keselarasan: keselarasan antara
tindakan dan ucapan, ucapan dan pikiraan, dan antara pikiran dan perasaan.
Siklus keselarasan yang cukup sederhana meski tak jarang banyak menuai
kesulitan dalam penerapannya sebagai akibat dari tekanan luar dan keserakahan
diri. Meski bumi ini akan rubuh keselarasan haruslah tetap ditegakkan.
3 comments :
mantap Dilwan (y)
jangan lupa juga Skrip** :D
ditunggu kunjungan baliknya di http://kopiuntukmu.blogspot.co.id/
biar sebenarnya isi disana tidak sebermanfaat disini ;)
Ka Yuyan p Blog kren Abiss...
Post a Comment