Tuesday, October 11, 2016

AKU DAN BUKU

Membaca kadang membuat mata terasa letih, ngantuk tak terhindarkan. Selembar tulisan bak pil tidur paling mujarab. Sementara, halaman-halaman berikutnya rindu dijamah tiada terkabul. Peristiwa pilu pernah datang dari guru Fisika MAN 1 Kendari. Sewaktu mahasiswanya, ia giat menghabiskan hari bersama buku, bila sehari saja tidak membaca, pusing pasti melandanya. Dengan enteng seorang peserta didik memberikan tanggapan, “berarti kalau tidak mau pusing jangan membaca dong Pak.” Siswa sok pintar itu adalah Mad Khatulistiwa.

Doktrin membaca buku dan tulisan dalam bentuk apa saja saya, lahir, ketika saya mengikuti perkaderan Kesatuan Pelajar Mahasiswa Muna Indonesia (KEPMMI) di kota Serambi Madinah, Gorontalo. Persisnya lima tahun lalu – di tengah kesibukannya mendidik pelajar SMA 1 Mananggu dan menyusun buku Saya Malu Sebagai Orang Muna – dogma itu tertutur dari seorang kakak diperantauan bernama Aspian Ibranur.

Jauh sebelum doktrin itu terdengar, sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah menghatam kisah-kisah para nabi, buku tanpa gambar yang tersimpan di lemari kelas. Membaca ketika itu hanyalah untuk menghabiskan waktu bila lelah bermain di halaman sekolah. Saat berseragam putih biru, kebiasaan membaca itu masih ada. Dan bacaan paling menarik adalah petualangan Trio detektif dan komik sewaan teman asrama. Semoga buku itu masih ada di perpustakaan MTS, s PESRI Kendari.

Beranjak ke masa perkuliahan. Saya tercengang, sebab atmosfer kampus sangat berbenturan dengan apa yang ada di alam ide, sebagaimana pemahaman saya selama ini. Kondisi itupun memicu nyali untuk menyampaikan keresahan dengan cara berbeda dari para demonstran. Sejak itu, kegiatan membaca buku beralih membaca realitas dan sedikit demi sedikit mengikatnya dalam tulisan dan menyebarkannya. Tulisan agitatif itu sedikit banyak terinspirasi dari gaya kepenulisan Eko Prasetyo dalam bukunya Penguasa Tipu Rakyat dan Bangkitlah Gerakan Mahasiswa.

Menjelang akhir masa studi strata satu, sepotong kisah dari – buku mungil berjudul ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’ – seorang manusia yang hidup tidak sekadar untuk menulis tetapi juga menulis untuk hidup, berhasil meledakkan semangat untuk istiqomah menyusuri jalan sunyi kepenulisan. Pengalamannya ditolak berpuluh kali ketika mengirim tulisan di media massa hingga membuatnya berkesimpulan bahwa mengirim tulisan untuk ditolak adalah perjalanan inspiratif dan mendapatkan perhatian khusus di hati ini. Meski saya belum pernah sedikitpun ikut pelatihan menulis, berkat bacaan itu, tulisan saya yang jauh dari kata pantas, nekat saja saya kirim ke email Gorontalo Pos. Dari total enam tulisan yang saya kirim secara berkala, dua diantaranya berhasil terbit.

Selasa, 11 Oktober 2016, saya akhirnya tiba di kota pelajar, Yogyakarta. Si inspirator – penulis Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur – itu tidak terlalu jauh untuk dipeluk kehidupannya, perasaan, dan pikirannya. Semoga tanah ini menjadi titik keindahan perjumpaan demi menghimpun kata dalam lembaran yang layak, lebih baik, dan terbaik.


"Tulisan 'Aku dan Buku' ini dibuat sebagai syarat pendaftaran mengikuti Volunteer Batch #4 yang diselenggarakan oleh radiobuku.com. Nantinya, peserta yang lulus akan menjadi relawan dan menyiar. Peserta juga akan dibekali teknik dasar penyiaran radio, mengikuti pelatihan jurnalistik, menulis esai, dan dapat menikmati fasilitas lainnya dari Warung Arsip. Harapan belajar nulis di Radio Buku sepertinya tertunda, karena tulisan di atas belum lulus seleksi. Saya mesti belajar lagi. Semoga masih ada kesempatan. Amin"

Baca Selanjutnya: TERTIPU DI YOGYAKARTA 

No comments :