Malam
itu Cakra dan teman-temannya baru saja tampil menari dalam sebuah acara amal
yang diselenggarakan Forum Komunikasi Osis (FKO) Kendari. Mereka tampilnya di hotel.
Sebelum pulang mereka diberi satu amplop putih.
Mereka tertawa bahagia setelah mengetahui nominalnya. Jumlah penari belasan orang. Latihan mereka berbulan-bulan di sekolah dan di taman budaya.
Mereka
pulang jalan kaki sembari menenteng bergilir radio besar milik Adel.
Malam
itu mereka tidur melantai, dekat dapur, di rumah seorang guru MTS,s Pesri
Kendari, Bu Hj. Sinar. Anak pertamanya, Fatimah adalah pengurus FKO. Dia yang
mengundang mereka untuk tampil menghibur. Dia juga yang menyerahkan amplop
putih berisikan pecahan satu lembar lima puluh ribu.
Mereka
semua laki-laki. Sulit tidur bila sudah bergerombol. Betis diistirahatkan; mata
tetap terjaga hingga fajar menyingsing. Malam itu mereka melewatinya dengan bercerita.
Cakra
berbagi ceritanya bersama Franz, teman sekelas sekaligus pelatih Tarkom (tari
kombinasi).
Salah
satu pembahasan mereka mengenai teman cewek, primadona madrasah. Nur Saidah namanya.
Kelas tujuh lalu, ia dan bibi seumurannya, Fatmawati, pindah dari Gontor Putri
4.
Mereka
berdua mahir berbahasa Arab. Mereka sama-sama cantik. Tapi, Saidah rating-nya
lebih tinggi. Ia lebih langsing dari tantenya. Wajahnya, imut-imut manja.
Cakra
tak bisa menyembunyikan bahagianya saat menceritakan salah satu cuplikan
terpendam ketika beberapa waktu sebelumnya mereka mendaki ke Amarilis.
Gunung
itu berada di sisi utara kota. Banyak jalan menuju ke tempat itu tapi betis
harus kuat. Salah satunya via rumah sakit PMI. Di sana ada air terjun, meluncur
cukup tinggi. Anak-anak setempat tidak ada takutnya ketika terjun bersama air. Cakra
beraninya hanya sepertiga dari ketinggiannya.
Ada
dua pilihan tempat mandi yang digandrungi: di atas dan di bawah. Pada bagian
atas air terperangkap diantara bongkahan bebatuan, ukurannya tidak seluas yang
di bawah, lebih cocok menikmatinya secara individu.
Tepian
tempat air meluncur terdapat batu besar berwarna kecoklatan. Permukaannya agak
miring.
Menjelang
Dzuhur, Cakra dan Saidah duduk pada batu itu. Di bawah sana mereka melihat
teman-temannya asik berenang. Pada sisi kanan bawah, air jernih bersiap melayang
bebas ke udara.
Saidah
mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru, senada dengan warna langit siang
itu. Rambut hitamnya tergerai panjang dan basah. Ia duduk membelakangi hijaunya
dedaunan. Lantunan sayup kicau burung mengiringi lambai senyumnya pada Cakra.
Keindahan alam menyatu pada lentik bulu matanya. Bunga melati bahkan cemburu
pada sekuntum wajah cantik ini.
Tubuh
Cakra terasa terkoyak-koyak, berhamburan, beterbangan; menyatu bersama percik
air yang membelai lembut kulit Saidah. Sarafnya bercahaya. Andai Cakra pandai
memetik bunga atau sekiranya mahir memberi puji tentu kelopak pipi Saidah sudah
dikecupnya dengan buaian, kata-kata penyejuk hati.
“Kamu
tau tidak?” Kata Cakra memandang mata Saidah, seolah dipeluk mata gadis itu
tertulis namanya.
“apa?”
Jawabnya penasaran.
“Aku
jatuh cinta pada langit, tapi hatiku tertinggal pada mu.”
Saidah
tersenyum; Cakra tersipu.
Percakapan
itu hanya ada dalam hayal, tak mampu keluar menembus lemahnya lidah. Nyali
Cakra menciut. Lantas beranjak pamit meninggalkannya untuk shalat.
No comments :
Post a Comment