Friday, November 11, 2016

MEKAR CINTA

Malam itu Cakra dan teman-temannya baru saja tampil menari dalam sebuah acara amal yang diselenggarakan Forum Komunikasi Osis (FKO) Kendari. Mereka tampilnya di hotel. Sebelum pulang mereka diberi satu amplop putih.

Mereka tertawa bahagia setelah mengetahui nominalnya. Jumlah penari belasan orang. Latihan mereka berbulan-bulan di sekolah dan di taman budaya.
Mereka pulang jalan kaki sembari menenteng bergilir radio besar milik Adel.
Malam itu mereka tidur melantai, dekat dapur, di rumah seorang guru MTS,s Pesri Kendari, Bu Hj. Sinar. Anak pertamanya, Fatimah adalah pengurus FKO. Dia yang mengundang mereka untuk tampil menghibur. Dia juga yang menyerahkan amplop putih berisikan pecahan satu lembar lima puluh ribu.
Mereka semua laki-laki. Sulit tidur bila sudah bergerombol. Betis diistirahatkan; mata tetap terjaga hingga fajar menyingsing. Malam itu mereka melewatinya dengan bercerita.
Cakra berbagi ceritanya bersama Franz, teman sekelas sekaligus pelatih Tarkom (tari kombinasi).
Salah satu pembahasan mereka mengenai teman cewek, primadona madrasah. Nur Saidah namanya. Kelas tujuh lalu, ia dan bibi seumurannya, Fatmawati, pindah dari Gontor Putri 4.
Mereka berdua mahir berbahasa Arab. Mereka sama-sama cantik. Tapi, Saidah rating-nya lebih tinggi. Ia lebih langsing dari tantenya. Wajahnya, imut-imut manja.
Cakra tak bisa menyembunyikan bahagianya saat menceritakan salah satu cuplikan terpendam ketika beberapa waktu sebelumnya mereka mendaki ke Amarilis.
Gunung itu berada di sisi utara kota. Banyak jalan menuju ke tempat itu tapi betis harus kuat. Salah satunya via rumah sakit PMI. Di sana ada air terjun, meluncur cukup tinggi. Anak-anak setempat tidak ada takutnya ketika terjun bersama air. Cakra beraninya hanya sepertiga dari ketinggiannya.
Ada dua pilihan tempat mandi yang digandrungi: di atas dan di bawah. Pada bagian atas air terperangkap diantara bongkahan bebatuan, ukurannya tidak seluas yang di bawah, lebih cocok menikmatinya secara individu.
Tepian tempat air meluncur terdapat batu besar berwarna kecoklatan. Permukaannya agak miring.
Menjelang Dzuhur, Cakra dan Saidah duduk pada batu itu. Di bawah sana mereka melihat teman-temannya asik berenang. Pada sisi kanan bawah, air jernih bersiap melayang bebas ke udara.
Saidah mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru, senada dengan warna langit siang itu. Rambut hitamnya tergerai panjang dan basah. Ia duduk membelakangi hijaunya dedaunan. Lantunan sayup kicau burung mengiringi lambai senyumnya pada Cakra. Keindahan alam menyatu pada lentik bulu matanya. Bunga melati bahkan cemburu pada sekuntum wajah cantik ini.
Tubuh Cakra terasa terkoyak-koyak, berhamburan, beterbangan; menyatu bersama percik air yang membelai lembut kulit Saidah. Sarafnya bercahaya. Andai Cakra pandai memetik bunga atau sekiranya mahir memberi puji tentu kelopak pipi Saidah sudah dikecupnya dengan buaian, kata-kata penyejuk hati.
“Kamu tau tidak?” Kata Cakra memandang mata Saidah, seolah dipeluk mata gadis itu tertulis namanya.
“apa?” Jawabnya penasaran.
“Aku jatuh cinta pada langit, tapi hatiku tertinggal pada mu.”
Saidah tersenyum; Cakra tersipu.
Percakapan itu hanya ada dalam hayal, tak mampu keluar menembus lemahnya lidah. Nyali Cakra menciut. Lantas beranjak pamit meninggalkannya untuk shalat.

No comments :