Thursday, October 27, 2016

BUNTU DI PAGUYAMAN


Apa yang paling dirindukan perantau? Pertanyaan itu kerap hadir menggelitik benakku dan mungkin juga kepada perantau lainnya. Kampung, barangkali adalah tempat yang paling dirindukan. Sebuah tempat di mana ia menjadi saksi kelahiran.

Seorang eks PKI, pelariannya hingga ke Eropa dikisahkan Leila S. Chudori dalam Novel Pulang: di tempat baru itu ia melewati hidup berpuluh tahun, beristri dan beranak. Bahkan sekalipun kehadirannya di benci pemerintah tetap jua ia inginkan agar kelak jasadnya terdekap di tanah kampung Indonesia.

Senada kisah di atas, Agustinus, petualangannya menembus batas wilayah, menyusuri ragam bahasa yang tidak dimengerti, mempertaruhkan nyawa menundukan puncak tertinggi dunia, melintasi budaya dan konflik, tetap juga merindukan kampung. Hanya tempat itu yang membuat Agus menemukan makna perjalanan, makna kehangatan yang mampu mengusir dingin salju Himalaya. Sebuah arti perjalanan hidup yang ia rekam dalam buku: Kembali Ke Titik Nol.

Aku ragu, apakah aku punya kampung. Kadang mereka mengartikan kampung adalah desa: orang yang katanya gagap teknologi, berpakaian sama jadulnya dengan sikapnya yang udik. Kadang mereka menyebutnya “kampungan”. Bukan sebuah desa, aku lahir di Kota, pusat peradaban, ditetapkan Tuhan terletak tepat di lengan Tenggara Sulawesi. Kampung dan desa mungkin sama sekaligus berbeda. Bila orang-orang itu mempertanyakan kampungku, Kendari itulah jawabanku.

Tapi aku lebih merindukan kampungnya. Kampung tak beraspal yang aku kunjungi 2015 yang lalu. Yang pemukimannya berderet mengikuti alur sungai, pembatas antara Boalemo dan Kabupaten Gorontalo. Aku rindu rumah betonnya yang lebih kecil dari garasi mobil orang-orang berduit. Ruang tamunya merangkap ruang keluarga, ada kursi dan meja plastik dekat pintu masuk; di ujung sana, sekitar empat meter dari pintu depan, di atas lemari perabotan dekat pintu dapur ada tivi 14 inch. Sebelah kanan dari ruang penghibur keluarga dengan tontonan, terdapat dua kamar. Malam itu aku tidur di kamar depan. Kamarnya wangi dan penuh tempelan foto gadis SMP. Beberapa alat kecantikan seadanya berbaris rapih di jendela dan di rak plastik. Di balik pintu kamar tergantung rok dan pakain sekolahnya. Malam itu, kepala keluarga pasti tidur berdempetan bersama tiga bidadarinya di kamar sebelah. Alangkah baiknya mereka pada perantau yang belum terlalu mereka kenali.
Jalan tak beraspal menuju Kampung itu

Kampung ini sejuk. Mendekati subuh dinginnya merambat menusuk kulit, lebih tajam dari dingin ruangan dekan fakultasku. Sepagi itu aku sudah bangun. Yang punya rumah masih terlelap. Aku melangkah ke belakang mencari kamar mandi melewati pintu dekat Tv. Ruang dapurnya seperti ruang dadakan, tidak terdapat dalam rancangan denah rumah. Lantainya beralaskan tanah, bersembunyi di balik sulaman bambu. Ada meja makan berbahan kayu di situ, berwarna coklat kehitaman tanpa olesan cat.

Rumah ini bukan seperti rumahku. Kamar mandi keluarga ini hanya sebuah kotak tanpa penutup terbuat dari anyaman bambu, tiga meter di belakang dapur. Seng dan karung bekas membantu menutupi celah dinding. Di dalamnya ada genangan tak berbeton, airnya hanya cocok untuk membersihkan, tetapi tidak untuk mencuci beras. Lalu aku membasuh badan dan mencuci celanaku yang bau pesing dengan air keruh keabuan itu. Aku malu pada diri sendiri. Sedewasa ini aku masing sering ngompol bila kedinginan. Setelah menjemur, aku kembali ke kamar, mengganti pakaian, menyemprot kasur dengan parfum.
Putih itu menyelimuti Hijaunya Dedaunan

Ini kedatangan keduaku di Desa Karya Murni. Pertemuan perdana sebelumnya, Bapak petani jagung pemilik rumah ini sempat berkeluh kisah tentang hutan lindung –penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah– sumber kehidupan warga setempat yang sudah terjamah oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Aku datang kali ini sebagai orang yang terseret dengan keresahannya.

Sejak kakek-nenek mereka, hutan itu tidak hanya mencukupi kebutuhan oksigen penduduk desa, ia juga menyerap racun karbon dioksida dan menyuplai udara segar bagi penduduk se kabupaten. Pohon-pohonya tumbuh lebat di atas sebuah gundukan tanah menjulang tinggi. Ada penampungan air di atas sana. Darinya, air kehidupan mengalir jernih ke rumah-rumah warga.

2009 yang lalu, cerita bapak calon kepala desa ketika sore sebelumnya bertandang ke rumah ini. Beberapa orang asing melakukan survei di tengah hutan. Dua tahun kemudian, puluhan hektar tempat pohon-pohon besar itu lahir kini tak berdaya dijajah cengkeh. Orang-orang asing, 40 kepala keluarga itu sudah membuat markas. Mereka dibenci masyarakat setempat namun di sayang pemerintah.

Anggota DPRD beberapa kali bertandang ke desa ini, mendengar pendapat warganya. Tapi keluhan nasib hutan hanya sampai di telinga para politisi yang katanya wakil rakyat itu. Tindak lanjut yang tersampaikan di balai desa hanya ucapan kosong penghibur warga. Hanya pandai mengumbar harapan, kata-kata yang sama dustanya kala mereka datang berkampanye. Wartawan dan polisi pernah datang ke tempat ini tapi mereka sama bungkamnya dengan aku. Namun, kebungkamanku bukan karena mulutku tersumpal rupiah.

Aku menusuk, namun tusukan lawan lebih perih. Ucapan petugas pemerintahlah yang membungkam: tidak hanya mulutku tapi juga mulut para warga. Bila penduduk desa berani berulah, pemerintah tidak segan-segan mempersoalkan lahan-lahan warga yang telah lebih dulu diam-diam mengambil sepetak demi sepetak tanah hutan lindung ini. Lihai betul pemerintah memainkan konflik dan kuasanya; membiarkan warganya salah agar kedepan bisa saling menyalahkan, dan pemenangnya sudah tertebak. Beginilah nasib masyarakat level terbawah dalam Piramida Mills, masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan dan tak terorganisasi akan terkontrol oleh kelompok di atasnya.

Entah siapa yang salah. Pemimpin ataukah rakyatnya. Atau keduanya. Warga salah karena sedikit demi sedikit menggarap hutan lindung. Pemimpin salah karena tau dan membiarkannya warganya salah. Bila warganya salah karena penggarapan itu, apakah 40 kepala keluarga yang menebang dan mendiami hutan lindung itu tidak salah? Salah menurut siapa yang aku gunakan?

Menurut Peta Infrastruktur Kabupaten Boalemo tahun 2012, hutan tersebut memang termasuk Hutan lindung. Walaupun demikian, hutan lindung bisa dikelolah bila memiliki izin. Hal ini di atur dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pasal 26.

Aku tak pandai, aku tak punya solusi. Aku hanya punya segudang keinginan membantu, gudang besar namun kosong tak berilmu, tak punya apa-apa. Aku pergi, tak kembali. Dan Aku merindukannya.

Beberapa hal yang kurang dalam keterseretanku. Paling utama yaitu, tidak ada sedikitpun konfirmasi yang aku lakukan mengenai data dan informasi. Seperti, kebenaran akan adanya lahan-lahan warga yang sudah merambah ke hutan lindung, dan keberadaan surat izin pemanfaatan hutan lindung tersebut.

No comments :