Monday, April 4, 2016

ORGANISASI BUNGKAM, BUBARKAN SAJA!



Megaphone kini pengangguran, tidak ada lagi yang berteriak melaluinya. Aspal jalan rindu sentakan sepatu dan bakar bannya mahasiswa. Mulut mahasiswa kini lebih doyan koprol sana-sini. Lebih suka memanjakan kaki sembari ngumpul, ngumpat, dan ngompolin pemerintah di warung kopi. “Kalau sekadar bicara burung beo juga bisa” guman Iwan Fals yang resah. Apa lagi yang mau diharapkan dari generasi retorika namun bungkam dihadapan ancaman? Berbicara memang adalah manifestasi dari berpikir. Namun, jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, yang kicauan pemikiran perubahan hanya sampai di pintu sekretariat.
Budiman Sujatmiko berkata, sebenarnya negeri ini hanya segelintir saja yang menjadi penjahat, yang banyak itu orang yang pengecut.[i] Mungkin kita (mahasiswa) termasuk dalam kategori “pengecut” itu. Atau barangkali kita seperti para filsuf sebagaimana yang digambarkan oleh Soekarno, orang yang menutup dirinya di dalam kamar menghadapi buku, jikalau ia pun keluar dari kamar malam-malam memandang bintang di langit, lantas berfalsafah.[ii] Tapi, para filsuf masihlah lebih baik, mereka tetap membaca buku ketimbang kita yang hanya sibuk di dunia imaji gadget. Padahal, Negara-negara maju ditandai dengan masyarakat yang gemar membaca; orang-orang hebat juga gemar membaca. Bahkan Soekarno adalah orang yang rajin membaca, tetapi dia tidak hilang terbenam di dalam debunya.[iii] Bagi Soekarno, buku adalah a guide to action, satu pimpinan untuk beraksi. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Membaca merupakan titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. UNG, Kampus peradaban, kampus yang mahasiswa dan dosennya gemar membaca. Begitukah?
Kawan-kawan
Kampus berdiri bukan sekadar untuk melahirkan sarjana. Kampus diselengarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa dilatih bukan untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik.[iv] Kelas kuliah bukanlah tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga.[v]
Kampus dan dosen dengan dogma “datang-patuh-pulang” seakan mengkhianati berdirinya  kampus itu sendiri. Padahal tak semua manusia sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO. Steve Joobs berhenti kuliah, Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan Mark Zuckerberg keluar dari kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan mempengaruhi perubahan sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus cepat. Dalam konteks Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa pusing berpikir soal IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.[vi]
Gerakan mahasiswa mesti kembali tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan mengerakkan. Ia mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana jiwa jalanan direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten menyatakan perlawanan dari berbagai sektor. Agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai kecil, tak bisa ikut UAS-UTS.[vii] Agar pungutan-pungutan siluman bertopeng aturan tanpa rasionalisasi segera lenyap. Tidak ada lagi mahasiswa yang diperas oleh yang terhormat dosen-dosen pemangku kepentingan.
Kawan-kawan
Saat kita resmi menjadi mahasiswa, saat itu juga sebenarnya kita sedang menggunakan toga yang talinya masih di kiri. Hanya saja saya heran, kenapa kucir (tali) toga pada saat wisuda, harus dipindahkan dari kiri ke kanan, kenapa bukan dari kanan-kiri? Setelah saya riset, Akhirnya saya temukan jawabannya di Wc, ketika cebok. Cebok cenderung megunakan tangan kiri, cebok artinya membersihkan, dan kiri menurut Jacob[viii] bermakna radikal (berdasar, kritis, dan menanduk). Jadi kalau ada birokrasi kampus atau pemerintah yang berkelakuan busuk macam t.a.i. Mereka harus kita cebok.
Organisasi yang masih bungkam dan takut melawan, bubarkan saja!





[i]Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
[ii]Pidato Soekarno, ketika menerima gelar Doctor Honoris causa dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iii]Pidato Presiden (Rektor) Universitas Hasanuddin, Arnold Mononutu. Ketika memberikan gelar Doctor Honoris causa kepada Soekrno dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iv] 2014. Pengkhianatan Kampus Dalam Film Senyap. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2014/12/pengkhianatan-kampus-dalam-film-senyap/
[v] [v]____.2015. Apa Kabar Mahasiswa. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2015/11/apa-kabar-mahasiswa/
[vi]Menteri Koordinator dan Kebijakan Eksternal BEM KM UGM.2015. review Buku "Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" karya Eko Prasetyo (Resist Book, Yogyakarta). Diakses di: http://kotakkataotak.blogspot.co.id/2015/03/bangkitlah-gerakan-mahasiswa.html
[vii] Ibid.
[viii] Prof. Dr. T. Jacob. Lahir pada 6 desember 1929. Pernah Menjadi Gurubesar tamu Diego State University, California, Museum d’Historie Naturelle, dan college de France, Paris. Beliau juga adalah mantan Sekeretaris dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Rektor UGM, dan mantan Anggota MPR. Lihat. Jacob.1995. Beginilah Kondisi Manusia.Jakarta, Balai Pustaka.

No comments :