Megaphone
kini pengangguran, tidak ada lagi yang berteriak melaluinya. Aspal jalan rindu
sentakan sepatu dan bakar bannya mahasiswa. Mulut mahasiswa kini lebih doyan
koprol sana-sini. Lebih suka memanjakan kaki sembari ngumpul, ngumpat, dan
ngompolin pemerintah di warung kopi. “Kalau sekadar bicara burung beo juga
bisa” guman Iwan Fals yang resah. Apa lagi yang mau diharapkan dari generasi
retorika namun bungkam dihadapan ancaman? Berbicara memang adalah manifestasi
dari berpikir. Namun, jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, yang kicauan
pemikiran perubahan hanya sampai di pintu sekretariat.
Budiman
Sujatmiko berkata, sebenarnya negeri ini hanya segelintir saja yang menjadi penjahat,
yang banyak itu orang yang pengecut.[i]
Mungkin kita (mahasiswa) termasuk dalam kategori “pengecut” itu. Atau
barangkali kita seperti para filsuf sebagaimana yang digambarkan oleh Soekarno,
orang yang menutup dirinya di dalam kamar menghadapi buku, jikalau ia pun
keluar dari kamar malam-malam memandang bintang di langit, lantas berfalsafah.[ii]
Tapi, para filsuf masihlah lebih baik, mereka tetap membaca buku ketimbang kita
yang hanya sibuk di dunia imaji gadget. Padahal, Negara-negara maju ditandai
dengan masyarakat yang gemar membaca; orang-orang hebat juga gemar membaca.
Bahkan Soekarno adalah orang yang rajin membaca, tetapi dia tidak hilang terbenam di dalam debunya.[iii] Bagi Soekarno, buku adalah a guide to action, satu pimpinan untuk
beraksi. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Membaca merupakan
titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. UNG, Kampus peradaban, kampus
yang mahasiswa dan dosennya gemar membaca. Begitukah?
Kawan-kawan
Kampus berdiri bukan sekadar untuk melahirkan
sarjana. Kampus diselengarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal
kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa dilatih bukan
untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik.[iv] Kelas kuliah bukanlah
tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga.[v]
Kampus dan dosen dengan dogma “datang-patuh-pulang” seakan
mengkhianati berdirinya kampus itu sendiri. Padahal tak semua manusia
sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO. Steve Joobs berhenti kuliah,
Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan Mark Zuckerberg keluar dari
kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan mempengaruhi perubahan
sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus cepat. Dalam konteks
Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa pusing berpikir soal
IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Pramoedya
Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.[vi]
Gerakan mahasiswa mesti kembali
tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan mengerakkan. Ia
mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana jiwa jalanan
direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten menyatakan
perlawanan dari berbagai sektor. Agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung
dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai
kecil, tak bisa ikut UAS-UTS.[vii]
Agar pungutan-pungutan siluman bertopeng aturan tanpa rasionalisasi segera
lenyap. Tidak ada lagi mahasiswa yang diperas oleh yang terhormat dosen-dosen
pemangku kepentingan.
Kawan-kawan
Saat
kita resmi menjadi mahasiswa, saat itu juga sebenarnya kita sedang menggunakan
toga yang talinya masih di kiri. Hanya saja saya heran, kenapa kucir (tali)
toga pada saat wisuda, harus dipindahkan dari kiri ke kanan, kenapa bukan dari
kanan-kiri? Setelah saya riset, Akhirnya saya temukan jawabannya di Wc, ketika
cebok. Cebok cenderung megunakan tangan kiri, cebok artinya membersihkan, dan
kiri menurut Jacob[viii]
bermakna radikal (berdasar, kritis, dan menanduk). Jadi kalau ada birokrasi
kampus atau pemerintah yang berkelakuan busuk macam t.a.i. Mereka harus kita
cebok.
Organisasi yang masih
bungkam dan takut melawan, bubarkan saja!
[ii]Pidato Soekarno, ketika menerima gelar Doctor
Honoris causa dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang
Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iii]Pidato
Presiden (Rektor) Universitas Hasanuddin, Arnold Mononutu. Ketika memberikan
gelar Doctor Honoris causa kepada Soekrno dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan
Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas
Hasanudin.
[iv]
2014. Pengkhianatan
Kampus Dalam Film Senyap. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2014/12/pengkhianatan-kampus-dalam-film-senyap/
[v] [v]____.2015.
Apa Kabar Mahasiswa. Harian
Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2015/11/apa-kabar-mahasiswa/
[vi]Menteri Koordinator dan Kebijakan
Eksternal BEM KM UGM.2015. review Buku
"Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" karya Eko Prasetyo (Resist Book,
Yogyakarta). Diakses di: http://kotakkataotak.blogspot.co.id/2015/03/bangkitlah-gerakan-mahasiswa.html
[vii] Ibid.
[viii] Prof. Dr. T. Jacob. Lahir pada 6
desember 1929. Pernah Menjadi Gurubesar tamu Diego State University,
California, Museum d’Historie Naturelle, dan college de France, Paris. Beliau
juga adalah mantan Sekeretaris dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Rektor UGM,
dan mantan Anggota MPR. Lihat. Jacob.1995. Beginilah
Kondisi Manusia.Jakarta, Balai Pustaka.
No comments :
Post a Comment