Tuesday, December 8, 2015

DEGRADASI KAMPUS PERADABAN -UNG


Teringat betul waktu kali pertama berkuliah di kampus Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada 2011 silam. Kampus ini tidak hanya dikenal sebagai kampus merah maron karena almamaternya berwarna demikian. Tetapi, juga dijuluki sebagai kampus peradaban. Julukan yang disandang ini masih dapat dijumpai karena tetap terpampang pada pertigaan antara Fakultas Pertanian dan jalan menuju Auditorium UNG. Tidak mengherankan, jika selanjutnya civitas akademika terutama para mahasiswa senior selalu mendoktrin mahasiswa baru dengan keyakinan bahwa mahasiswa yang ditempa di Universitas terhormat ini akan melahirkan martir-martir peradaban baru yang akan mengantarkan daerah dan dan bangsa pada kesejajaran dengan negara-negara maju lainnya.

Sebagaimana opini yang berkembang dikalangan birokrasi kampus maupun pemerintah waktu itu. Bahwa Gorontalo dicanangkan untuk menjadi kota pelajar terutama untuk wilayah Indonesia timur dan UNG mengambil peran sebagai garda terdepannya. Gorontalo bercita untuk menjadi Jogjakartanya Indonesia timur.

UNG adalah kampus multikultulral. Beragam suku dan budaya dengan tetap mempertahankan kejatidirian daerahnya berpadu dalam keharmonisan merah meron. Lebih dari sekadar soal pendidikan, roda perekonomian di kota Gorontalo pun meningkat Hal ini tidaklah lepas dari dari peran-peran para perantau ilmu dari berbagai daerah yang memilihUNG sebagai jalan keilmuannya.

Orientasi arah gerak UNG kemudian beralih seiring bergantinya rektor. Prof. Nelson Pomalingo, rektor UNG dua periode, rektor yang digandrungi mahasiswa karena pembebasan ruang kreatifitas mahasiswa. Masa kepemimpinannya harus berpindah ke DR. Syamsu Qomar Badu (SQB). Seorang rektor yang lebih muda dan lebih tinggi secara fisik. Kulitnya putih bersih. Andai saja rambutnya lurus, mungkin beliau akan gondrong.

Sepak terjang Rektor SQB  begitu cepat. Kantor para pejabat kampus diperbaharui, ruang perkuliahan tambah. Damhil, lapangan sepak bola kampus utama harus direlakan dengan tidak ikhlas demi memenuhi hasrat pembangunan sang 01 universitas. Beliau identik dengan pembangunan. Mahasiswapun menjulukinya sebagai Bapak pembangunan. Ingat pembangunan, ingat SQB. Gelar yang telah disandangnya kembali mengingatkan pada sesosok  mantan presiden Indonesia yang memiliki kesamaan gelar sebagai Bapak Pembangunan. Bedanya, rektor membangun kampus sementara presiden membangun Negara.

Pembangunan Kampus Mahasiswa Dikuras

Pembangunan yang dilakukan tidaklah menggunakan jasa makhluk gaib sebagaimana kisah pembangunan candi Prambanan dengan 1000 arca dalam waktu semalam. Tetapi menggunakan rupiah. Pembangunan Indonesia versi Soeharto dilakukan dengan menggunakan bantuan asing. Pembangunan memang dimana-mana, namun kemudian Negara harus terjerat hutang luar negeri. Rektor UNG memiliki style pembangunannya sendiri dan terkesan lebih kreatif yaitu dengan menaikkan biaya pendaftaran mahasiswa baru setiap tahunnya untuk mendukung pembangunan yang sementara berlangsung. Mirisnya, biaya kampus Negeri lebih mahal dari kampus swasta. Biaya kenaikan yang terjadi melukai hati orang tua mahasiswa dan mahasiswa itu sendiri. Beasiswa seperti Bidik Misi memang ada, tapi tidak setiap orang menengah ke bawah bisa memperolehnya. Akibatnya, mahasiswa senior di hampir setiap organisasi kedaerahan mengeluh, sebab banyak calon mahasiswa dari kampungnya harus terhenti karena biaya begitu tinggi.

Gejala penyakit rupiahpun muncul sebagai imbas mahalnya biaya studi. Mahasiswa yang terjangkit cenderung berpikir pragmatis, apa-apa yang dibuatnya haruslah menguntungkan pribadinya. Dan ini akan berlangsung tidak hanya ketika berstatus sebagai mahasiswa, bahkan setelah masuk ke sistem pun akan turut bersenggama dengan sistem yang perlu segera perbaikan ini.

Gerak Mahasiswa yang Dimatikan
Sejak mengarungi samudra kampus, mahasiswa sengaja ditenggelamkan oleh dosen dalam lautan akademik yang membuat mahasiswa hanya berpikir untuk bagaimana berhasil berenang hingga ke daratan wisuda dengan nilai tinggi, lalu kerja, menikah, beranak-pinak, kemudian menunggu Izrail menjemput. Roda kehidupan akademik direkayasakan begitu sederhananya tanpa perlu mempersoalkan terjadinya kesewanang-wenangan. Padahal, universitas idealnya mewujudkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak hanya pandai dalam keilmuan yang dikuliahinya tetapi juga sadar akan peran dan tanggung jawab sosialnya.

Berkat kultur belajar yang hanya berorientasi pada peraihan nilai tinggi guna menopang toga bertengger di kapala selama beberapa jam dengan rasa bangga gelar resmi telah bercokol dinama belakangnya. Kampus berhasil mewisudakan sarjana-sarjana cerdas namun ngilu terhadap problem sosial. Sistem pendidikan kapitalisme panutan Indonesia di Gorontalo yang diterapkan para dosen sukses menciptakan mahasiswa apatis dan pragmatis. Pembodohan tersistematis. Ruang Kuliah disulap bak panggung dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang sering kali mengancam dengan DO, nilai rendah, tak bisa mengikuti UTS-UAS. "Lalu di mana ruh kampus sebagai gudang gagasan dan perlawanan?" Ucap Menteri koordinator dan kebijakan eksternal BEM KM UGM.

Kampus sebagai wadah penempaan manusia bernama mahasiswa harus dikembalikan dalam garis edarnya guna mewujudkan generasi berkebudayaan yang berdiri diatas tiga pilar perguruan tinggi: pendidikan berkeadilan, terjangkau oleh seluruh lapis sosial; penelitian tanpa intervensi; dan ketulusan dalam melakukan pengabdian pada masyarakat.

Peran dosen idealis progresif sangat dibutuhkan.  Untuk menjadikan Mahasiswa sebagai aktor intelektual sejati haruslah dididik oleh dosen yang berintelektual sejati pula dan bukan oleh pelacur intelektual. Para Intelektual berperan aktif memasyarakatkan ilmu dan turut serta dalam memajukan bangsa. Ia hadir bukan untuk menjadi kacung sistem yang membusuk. Ia bukanlah orang-orang yang hanya kaya gagasan tetapi pula kaya akan tindakan untuk mengabdi memperbaiki bangsa yang tidak sekadar berorientasi mendapat rupiah melainkan untuk memperoleh keberkahan hidup. inilah bentuk kesejatian penerapan item ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi.

Kebudayaan Sebagai Akar Peradaban
Kebudayaan yang maju adalah hasil perkawinan ilmu pengetahuan dan kreatifitas.  Kebudayaan adalah manifestasi karya, cipta, dan rasa manusia. Pembangunan manusia sejatinya adalah pondasi kebudayaan. Sementara peradaban lahir dari sebuah kebudayaan.

Peradaban ditinjau bukan berdasarkan pembangunan gedung-gedungnya. Tetapi tercipta oleh hasil pembangunan manusianya yang berkulitas, menjunjung etos dan semangat keilmuan yang tinggi. Lebih baik membangun sumber daya manusia dan memperbaiki sistem terlebih dahulu ketimbang membangun gedung-gedung.

Menegakkan Identitas
Proses menuju manusia seutuhnya yang dilalui dengan penuh kesadaran kritis dan kebebasan dalam jalur ketertiban sistem akan mampu menampakkan prestasi yang lebih dari sekadar demonstrasi. Mahasiswa mesti kembali pada garis edarnya yang sadar akan perannya sebagai roda gerak negeri yang berkewajiban ambil bagian dalam dinamika bangsa yang penuh ketimpangan dan kemerosotan nilai.

Saatnya kini mahasiswa meninggalkan kesibukan yang penuh ekspos pribadi dalam media maya yang tanpa makna, seraya menggantinya dengan karya yang bukan sekadar unjuk rasa. Olehnya itu, pembentukan pribadi ilmiah lagi amaliyah, sadar akan tanggung jawab sosialnya, haruslah menjadi karakter yang terus melekat pada diri seorang mahasiswa. Identitas ini bisa terbentuk bila civitas akademika mengembalikan kedudukan terhormat Universitas Negeri Gorontalo sebagai Kampus Peradaban yang lebih mengutamakan pembangunan manusia dengan biaya kuliah terjangkau oleh semua lapis sosial yang bukan hanya sekadar kampus pembangunan gedung.


No comments :