Teringat betul waktu kali pertama berkuliah di kampus Universitas
Negeri Gorontalo (UNG) pada 2011 silam. Kampus ini tidak hanya dikenal sebagai
kampus merah maron karena almamaternya berwarna demikian. Tetapi, juga dijuluki
sebagai kampus peradaban. Julukan yang disandang ini masih dapat dijumpai
karena tetap terpampang pada pertigaan antara Fakultas Pertanian dan jalan
menuju Auditorium UNG. Tidak mengherankan, jika selanjutnya civitas akademika
terutama para mahasiswa senior selalu mendoktrin mahasiswa baru dengan
keyakinan bahwa mahasiswa yang ditempa di Universitas terhormat ini akan
melahirkan martir-martir peradaban baru yang akan mengantarkan daerah dan dan
bangsa pada kesejajaran dengan negara-negara maju lainnya.
Sebagaimana opini yang berkembang dikalangan birokrasi kampus
maupun pemerintah waktu itu. Bahwa Gorontalo dicanangkan untuk menjadi kota
pelajar terutama untuk wilayah Indonesia timur dan UNG mengambil peran sebagai
garda terdepannya. Gorontalo bercita untuk menjadi Jogjakartanya Indonesia
timur.
UNG adalah kampus multikultulral. Beragam suku dan budaya dengan
tetap mempertahankan kejatidirian daerahnya berpadu dalam keharmonisan merah
meron. Lebih dari sekadar soal pendidikan, roda perekonomian di kota Gorontalo
pun meningkat Hal ini tidaklah lepas dari dari peran-peran para perantau ilmu
dari berbagai daerah yang memilihUNG sebagai jalan keilmuannya.
Orientasi arah gerak UNG kemudian beralih seiring bergantinya
rektor. Prof. Nelson Pomalingo, rektor UNG dua periode, rektor yang digandrungi
mahasiswa karena pembebasan ruang kreatifitas mahasiswa. Masa kepemimpinannya
harus berpindah ke DR. Syamsu Qomar Badu (SQB). Seorang rektor yang lebih muda
dan lebih tinggi secara fisik. Kulitnya putih bersih. Andai saja rambutnya
lurus, mungkin beliau akan gondrong.
Sepak terjang Rektor SQB begitu cepat. Kantor para pejabat
kampus diperbaharui, ruang perkuliahan tambah. Damhil, lapangan sepak bola
kampus utama harus direlakan dengan tidak ikhlas demi memenuhi hasrat
pembangunan sang 01 universitas. Beliau identik dengan pembangunan.
Mahasiswapun menjulukinya sebagai Bapak pembangunan. Ingat pembangunan, ingat
SQB. Gelar yang telah disandangnya kembali mengingatkan pada sesosok
mantan presiden Indonesia yang memiliki kesamaan gelar sebagai Bapak Pembangunan.
Bedanya, rektor membangun kampus sementara presiden membangun Negara.
Pembangunan Kampus Mahasiswa Dikuras
Pembangunan yang dilakukan tidaklah menggunakan jasa makhluk gaib
sebagaimana kisah pembangunan candi Prambanan dengan 1000 arca dalam waktu semalam.
Tetapi menggunakan rupiah. Pembangunan Indonesia versi Soeharto dilakukan
dengan menggunakan bantuan asing. Pembangunan memang dimana-mana, namun
kemudian Negara harus terjerat hutang luar negeri. Rektor UNG memiliki style pembangunannya
sendiri dan terkesan lebih kreatif yaitu dengan menaikkan biaya pendaftaran
mahasiswa baru setiap tahunnya untuk mendukung pembangunan yang sementara
berlangsung. Mirisnya, biaya kampus Negeri lebih mahal dari kampus swasta.
Biaya kenaikan yang terjadi melukai hati orang tua mahasiswa dan mahasiswa itu
sendiri. Beasiswa seperti Bidik Misi memang ada, tapi tidak setiap orang
menengah ke bawah bisa memperolehnya. Akibatnya, mahasiswa senior di hampir
setiap organisasi kedaerahan mengeluh, sebab banyak calon mahasiswa dari
kampungnya harus terhenti karena biaya begitu tinggi.
Gejala penyakit rupiahpun muncul sebagai imbas mahalnya biaya
studi. Mahasiswa yang terjangkit cenderung berpikir pragmatis, apa-apa yang
dibuatnya haruslah menguntungkan pribadinya. Dan ini akan berlangsung tidak
hanya ketika berstatus sebagai mahasiswa, bahkan setelah masuk ke sistem pun
akan turut bersenggama dengan sistem yang perlu segera perbaikan ini.
Gerak Mahasiswa yang Dimatikan
Sejak mengarungi samudra kampus, mahasiswa sengaja ditenggelamkan
oleh dosen dalam lautan akademik yang membuat mahasiswa hanya berpikir untuk
bagaimana berhasil berenang hingga ke daratan wisuda dengan nilai tinggi, lalu
kerja, menikah, beranak-pinak, kemudian menunggu Izrail menjemput. Roda
kehidupan akademik direkayasakan begitu sederhananya tanpa perlu mempersoalkan
terjadinya kesewanang-wenangan. Padahal, universitas idealnya mewujudkan
mahasiswa-mahasiswa yang tidak hanya pandai dalam keilmuan yang dikuliahinya
tetapi juga sadar akan peran dan tanggung jawab sosialnya.
Berkat kultur belajar yang hanya berorientasi pada peraihan nilai
tinggi guna menopang toga bertengger di kapala selama beberapa jam dengan rasa
bangga gelar resmi telah bercokol dinama belakangnya. Kampus berhasil
mewisudakan sarjana-sarjana cerdas namun ngilu terhadap problem sosial.
Sistem pendidikan kapitalisme panutan Indonesia di Gorontalo yang diterapkan
para dosen sukses menciptakan mahasiswa apatis dan pragmatis. Pembodohan
tersistematis. Ruang Kuliah disulap bak panggung dogma pembunuh kemerdekaan
berpikir yang sering kali mengancam dengan DO, nilai rendah, tak bisa mengikuti
UTS-UAS. "Lalu di mana ruh kampus sebagai gudang gagasan dan
perlawanan?" Ucap Menteri koordinator dan kebijakan eksternal BEM KM UGM.
Kampus sebagai wadah penempaan manusia bernama mahasiswa harus
dikembalikan dalam garis edarnya guna mewujudkan generasi berkebudayaan yang
berdiri diatas tiga pilar perguruan tinggi: pendidikan berkeadilan, terjangkau
oleh seluruh lapis sosial; penelitian tanpa intervensi; dan ketulusan dalam
melakukan pengabdian pada masyarakat.
Peran dosen idealis progresif sangat dibutuhkan. Untuk
menjadikan Mahasiswa sebagai aktor intelektual sejati haruslah dididik oleh
dosen yang berintelektual sejati pula dan bukan oleh pelacur intelektual. Para
Intelektual berperan aktif memasyarakatkan ilmu dan turut serta dalam memajukan
bangsa. Ia hadir bukan untuk menjadi kacung sistem yang membusuk. Ia bukanlah
orang-orang yang hanya kaya gagasan tetapi pula kaya akan tindakan untuk
mengabdi memperbaiki bangsa yang tidak sekadar berorientasi mendapat rupiah
melainkan untuk memperoleh keberkahan hidup. inilah bentuk kesejatian penerapan
item ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi.
Kebudayaan Sebagai Akar Peradaban
Kebudayaan yang maju adalah hasil perkawinan ilmu pengetahuan dan
kreatifitas. Kebudayaan adalah manifestasi karya, cipta, dan rasa
manusia. Pembangunan manusia sejatinya adalah pondasi kebudayaan. Sementara
peradaban lahir dari sebuah kebudayaan.
Peradaban ditinjau bukan berdasarkan pembangunan gedung-gedungnya.
Tetapi tercipta oleh hasil pembangunan manusianya yang berkulitas, menjunjung
etos dan semangat keilmuan yang tinggi. Lebih baik membangun sumber daya
manusia dan memperbaiki sistem terlebih dahulu ketimbang membangun gedung-gedung.
Menegakkan Identitas
Proses menuju manusia seutuhnya yang dilalui dengan penuh
kesadaran kritis dan kebebasan dalam jalur ketertiban sistem akan mampu
menampakkan prestasi yang lebih dari sekadar demonstrasi. Mahasiswa mesti
kembali pada garis edarnya yang sadar akan perannya sebagai roda gerak negeri
yang berkewajiban ambil bagian dalam dinamika bangsa yang penuh ketimpangan dan
kemerosotan nilai.
Saatnya kini mahasiswa meninggalkan kesibukan yang penuh ekspos
pribadi dalam media maya yang tanpa makna, seraya menggantinya dengan karya
yang bukan sekadar unjuk rasa. Olehnya itu, pembentukan pribadi ilmiah lagi
amaliyah, sadar akan tanggung jawab sosialnya, haruslah menjadi karakter yang
terus melekat pada diri seorang mahasiswa. Identitas ini bisa terbentuk bila
civitas akademika mengembalikan kedudukan terhormat Universitas Negeri
Gorontalo sebagai Kampus Peradaban yang lebih mengutamakan pembangunan manusia
dengan biaya kuliah terjangkau oleh semua lapis sosial yang bukan hanya sekadar
kampus pembangunan gedung.
No comments :
Post a Comment