Sumber: google.com
Tulisan ini dibuat sebab kegundahan seorang kawan mahasiswa disuatu pagi, awal minggu pertama di bulan April 2016 yang cerah, kala ia tengah mengurus kelengkapan administrasi menuju sarjananya. Ia bercerita dengan bibir senyum yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Ia terheran, tidak terpukau, namun, merasa miris setelah mengetahui bahwa kelengkapan administrasi yang ia butuhkan hanya dapat diperoleh dengan mudah bila merogoh rupiah terlebih dahulu.
Siapa sih yang tidak mau menjadi sarjana? Mereka yang bersekolah, terutama mahasiswa tentu sangat mengidam-idamkannya. Sarjana adalah adalah gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi.[i] Sarjana membuat nama seseorang mendapatkan tambahan gelar. Gelar yang melekat lantas menjadi simbol keilmuan dan bekal memperoleh pekerjaan yang lebih baik demi kehidupan layak. Orang tua pun rela mengeluarkan biaya yang dibutuhkan demi ilmu dan gelar sang anak, meskipun itu berarti mengorbankan kebutuhan lain, utang di mana-mana, atau bekerja lebih keras lagi. Setelah menyandang gelar, pekerjaan yang paling digandrungi biasanya adalah pekerjaan kantoran atau menjadi pegawai negeri sipil. No problem. Konsentrasi masalah terletak pada kerelaan dengan mimpi agar anak/keluarga memperoleh kehidupan lebih baik yang “termanfaatkan” oleh penjahat intelektual untuk memuaskan dahaga matrealisme.
Adalah
Tehasan[ii]
(nama samaran), mahasiswa semester akhir yang sedang merana mepersiapkan
keberakhiran kuliahnya. Liku perjalanan menuju sarjana rupanya tidaklah mudah
seperti yang tergambar dalam benaknya selama ini. Masalahnya ada pada “rupiah”
yang hampir disetiap pengurusan kelengkapan berkas, wajib dihadirkan. Seperti: daftar
ujian skripsi Rp.1.200.000[iii],
daftar wisuda Rp.900.000, surat keterangan bebas laboratorium Rp.50.000,[iv]
tanda tangan wadek satu pada transkip nilai Rp.50.000, bebas perpus Jurusan Rp.25.000,
bebas perpus Fakultas Rp.20.000,[v]
bebaskan diri dari kebodohan dan kimiskinan hitung saja pengeluaran dari SD
sampai toga bertengger di kepala! Beberapa nominal ini mungkin terbilang
sedikit, tetapi kalau dikalikan dengan puluhan mahasiswa dan tiga kali wisuda
dalam setahun? Aduhai jumlahnya. Biaya pendidikan kita, mirip dengan apa yang
dikatakan oleh Mahatma Gandhi pada pasa kolonialisme Inggris di India “dan
sekolah-sekolah yang didirikan mengikuti pola-pola Eropa itu terlalu mahal bagi
rakyat.”[vi]
Misalnya,
menghitung pendapatan dari pendaftaran wisuda. Dengan asumsi calon
wisudawan/wati 900 orang, dikali biaya pendaftaran wisuda Rp.900.000, diperoleh
hasil Rp.810.000.000, dikalikan lagi dengan 3 kali wisuda dalam setahun,
hasilnya sama dengan Rp.2.430.000.000. Entahlah, dana ini dialokasikan ke mana.
Belum lagi dengan biaya SPP. Jumlahnya mungkin masih cukup membangun 2 hotel,
satu dilapangan catur, satunya lagi di Damhil
Park.[vii] Sayangnya,
dana tersebut tak cukup untuk mengatasi
wifi lalot, kesenjangan wc dan jumlah
mahasiswa, kesejahteraan cleaning service,
ruang kuliah yang jadi rebutan, penataan buku perpus pusat yang semrawut, biaya
bebas lab, biaya bebas perpus, biaya tanda tangan transkip nilai, dan mbl.[viii]
Rupiah
ibarat batu yang dapat menjadi pijakan menggapai cita. Kadang, bahkan sering,
rupiah juga ibarat bongkahan batu besar yang menggelinding dari puncak, sebagai
tantangan bagi seorang pendaki untuk berdiri di puncak kesuksesannya. Boleh
saja batu itu menggelinding, bila terjadi secara wajar dan jelas peruntukannya.
Anehnya, batu itu seperti peluru kendali berteknologi tinggi, jalur
gelindingnnya tidak normal, bahkan bisa memburu dan menggelinding ke arah berlawanan,
menanjak. Sang pendaki, setelah letih dan keluh penuh peluh. Akhirnya, berhasil
jua mencapai puncak dengan haru senyuman bangga, ditandai dengan: lempar toga
(selamat tinggal kawah derita); foto yang diupload
ke media sosial dengan status happy
graduation-merasa senangJ. Seolah dia adalah pejuang; pejuang
yang tertipu.
Ilmu
dagang mengajarkan, untuk menjadi pengusaha sukses hanya membutuhkan modal
sedikit-untung membuncit. Namun, ini tidak berlaku dalam sistem pendidikan. Justru
yang terjadi adalah kurva garis lurus antara sukses dan biaya; Semakin tinggi
pendidikan yang akan diraih, semakin tinggi pula rupiah yang harus dikeluarkan.
Pendidikan
bertujuan untuk melepaskan seseorang dari belenggu kebodohan. Sementara, kebodohan bersahabat dengan kemiskinan. Bagi
kalangan kelas ekonomi ke bawah, pembebasan dari kemiskinan dan kebodohan
berharap pada beasiswa. Pada sisi yang lain, beasiswa justru menjadi alat
perenggutan nyali kebebasan berpikir kritis dengan cara pengancaman dan
iming-iming oleh pemberi/pengelolah; penerima beasiswa bila kritis akan dicap
sebagai orang yang tidak tau berterimakasih, tidak tau diri. Akhirnya, dibuat bungkam
terhadap kesewenang-wenangan.
Bagi
kalangan kelas menengah dan kalangan kelas ekonomi atas, biaya pendidikan mungkin
tidak terlalu menjadi soal. Episentrum masalah bukan pada kemampuan ekonomi,
tetapi kepada munculnya pemahaman sempit mahasiswa dan masyarakat untuk tidak
mengeluh, terus bersabar, dan pandai bersyukur atas kondisi pembodohan ini. pembodohan terus bergulir menjadi kebiasaan dan
dianggap sebagai kebenaran. Sementara mahasiswa kritis dianggap sebagai
kesesatan. Hal ini jelas bertentangan dengan tulisan yang pernah terpampang
disalah satu bener fakultas “jangan benarkan kebiasaan tetapi biasakanlah
kebenaran.”
Baja juga: BIAYA RAMAH TAMAH FAKULTAS MENCEKIK
MAHASISWA MIPA UNG MENOLAK BIAYA RAMAH TAMAH
[i]KBBI offline.
[ii]Mohon maaf bila
ada kesamaan nama.
[iii]Pendaftaran ujian
di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kebumian.
[iv] Setiap kedudukan
dosen dalam kampus pasti ada tunjangan, hak, dan kewajibannya. Tapi, kenapa
penunaian kewajibannya harus merogoh uang mahasiswa lagi?
[v]Informasi biaya
berdasarkan penuturan “Tehasan” (Mahasiswa pada Jurusan Ilmu dan Teknologi
Kebumian) via telpon.
[vi] Tooley, James.
2009. The Beautiful Tree: a personal
journey into how the world’s poorest people are educating themselves. Terjemahan,
Toha, Adi. 2013. Sekolah Untuk Kaum
Miskin: Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia.. Ciputat,
PT. Pustaka Alvabet.
[viii]Masih banyak
lagi.
No comments :
Post a Comment