Saturday, April 23, 2016

MESKI TAK MENGAPA, MENGAPA MENOLAK KEDATANGAN JOKOWI?

Lagi dan lagi, barisan pemuda Gorontalo berdiri gagah di perempatan depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo, dengan isu “menolak kedatangan Jokowi.” Kinerja Jokowi dipertanyakan, karena sampai dengan detik ini realisasi program nasionalnya kurang terasa dan kurang berpihak pada rakyat.

Dalam lembar kajian isu yang dirilis oleh kawan-kawan massa aksi, menuliskan: kondisi penganguran di Provinsi Gorontalo sebagai mana yang mereka kutib dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, yaitu sebesar 20.919 jiwa dan angka kemiskinan mencapai 17,44% (Gorontalo, masuk dalam daftar 5 Provinsi termiskin). Terjadinya pengangguran dan kemiskinan daerah (orasi peserta aksi) ditenggarai disebabkan oleh kebijakan Presiden. Hemat penulis, tujuan dari aksi yang digelar, tuntuntannya kurang tepat sasaran. Karena beberapa persoalan daerah yang ditujukan pada Gubernur, sentral tuntutan dari aksi yang dibangun, isunya justru dilimpahkan pada nasional. 

Beberapa tuntutan juga dinilai kurang mengena. Seperti tuntutan pada poin pertama dan ke empat. Pertama, “tolak investor asing yang akan menguasai sektor-sektor produksi SDA di Gorontalo karena menyengsarakan rakyat.” Tuntutan ini sangat lemah, karena masuknya investor asing tidak selamanya melalui izin pusat melulu. Gubernur, walikato/bupati bisa melakukan persetujuan dan bisa pula melakukan penolakan.

Tuntutan ke empat berbunyi “bangun industri daerah dan memacu home industry untuk membuka lapangan kerja yang nyata.” Pertanyaannya, siapkah kawan-kawan menjadi pekerjanya? Sementara banyak dari kita (mahasiswa) dan yang sudah sarjana justru bermental kantoran yang ruangannya ber-AC; dan dalam hal ini, apakah memicu home Industri harus presiden lagi yang turun tangan? Mengapa bukan kita saja yang menjadi pemantik dan pelakunya?

Menurut Ekonom Kementrian Keuangan RI, Dr. Muh. Amir Arham dalam tulisannya di Gorontalo Pos (Sabtu, 19 Maret 2016), menyatakan bahwa meskipun Gorontalo termasuk daerah miskin, tetapi angka penganggurannya termasuk rendah di bawah 5%. Nalarnya, jika angka kemiskinan tinggi, seharusnya angka penganggurannya juga tinggi, tapi yang terjadi di Gorontalo kebalikannya─paradoks. Beliau juga berpendapat, bahwa terjadinya pengangguran terbuka disebabkan oleh usia angkatan kerja yang telah menyelesaikan pendidikannya diperkotaan tidak kembali ke daerahnya. Menurut analisis beliau berdasarkan data, tamatan sekolah menengah dan sarjana angka penganggurannya lebih tinggi ketimbang pengangguran yang berpendidikan SD.

Selain itu, terjadi pula kerancuan pada tuntutan kelima, aliansi meminta “ubah kriteria rakyat miskin menurut BPS.” Memang benar, kriteria “miskin” memiliki indikator yang berbeda hampir disetiap instansi yang berhubungan dengan kependudukan. Anehnya, data kemiskinan dan pengangguran yang menjadi acuan peserta aksi justru berdasarkan pada data BPS. Aliansi tidak sepakat kriteria kemiskinan, tapi mengapa tetap menggunakan data itu?Atau mungkin hanya data dari BPS yang bisa diperoleh. Ibarat mengeluh pemadaman listrik dan mengharapkan solusi, tapi ketika ada pembangunan listrik berdaya tinggi, justru orang yang mencanankan dilarang datang meresmikan.   

Untuk apa menolak kedatangan Jokowi? Bukankah menjadi kebanggaan daerah bila sang nahkoda Indonesia berlabuh di tanah ini? Terlebih lagi, Jokowi mencatatkan namanya sebagai presiden pertama Indonesia yang dapat mengunjungi Gorontalo untuk yang kedua kalinya dalam satu masa kepemimpinannya. Soekarno, Bapak Proklamator Indonesia adalah presiden yang juga dua kali menginjakkan kakinya di daerah ini. Bedanya, Soekarno datang untuk Mempersatukan Wilayah Nusantara dan konsolidasi Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sementara kedatangan Jokowi adalah untuk meresmikan wajah baru Bandara Djalaluddin dan untuk meresmikan  Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) berkekuatan 100 MW. Kedatangan mantan Gubernur DKI Jakarta ini, sekaligus menegaskan dan membuktikan, bahwa ia tidak marah kepada rakyatnya, meskipun pada pemilihan presiden 2014 kemarin, Gorontalo lebih memihak ke pasangan lain.

Penulis sempat bertanya-tanya, seberapa pentingkah peresmian PLTG dari presiden itu? Ternyata, pemerintah RI, sebelumnya telah mencanangkan pembangunan listrik berdaya 35.000 MW di Indonesia, dan yang ada di Paguat, Pohuwato, adalah yang lebih dulu usai.

Kebijakan Pro Rakyat
Apakah program pemerintah pusat masih tidak berpihak pada rakyat? Selain listrik, adanya “Asuransi Pertanian” untuk mengatasi gagal panen, anggaran desa yang dinaikkan, berhasil mengakusisi blok Mahakam untuk dikelola pertamina yang selama ini dikuasai Amerika, pembangunan kereta Api Trans-Sulawesi Makassar-(isimu)-Manado, Mendirikan pabrik semen di Papua, renegosiasi Freeport, membentuk badan ekonomi kreatif, menuntaskan ganti rugi korban lapindo setelah sembilan tahun terabaikan, apakah itu juga bukan pro rakyat?

Untuk diketahui, beberapa Pemuda Serambi Madinah yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) Gorontalo, telah menggelar dua kali aksi mimbar bebas “Penolakan Kedatangan Jokowi.” Pada aksi yang kedua, 22-4-2016. Tak hanya menuntut, aliansi juga memberikan jalan keluar sebagaimana yang mereka kutip dari pidato Bung Karno “Apabila keadaan ekonomi bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak stabil, maka kembalikan pada Trisakti dan Pancasila, dan apa bila itu tidak mampu, maka kembalikan pada amanat penderitaan rakyat, turunkan harga bahan makanan pokok.”

Nawa Cita dan Tri Sakti Senafas
Jokowi dan Soekarno memiliki beberapa persamaan dalam hal menata Indonesia. Tri Sakti adalah gagasan Soekarno, sementara Jokowi menawarkan Nawa Cita. Tri sakti berpilar pada Kedaulatan Politik, Berdikari dalam ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Soekarno, begitu konsisten dengan gagasannya, dibuktikan dengan komitmennya menolak masuknya kepentingan modal asing dalam negeri. Bagi anti asing, istilah “Amerika kita Setrika, Inggris kita Linggis,” adalah salah satu kutipan pidato Bung Karno yang masih terngiang hingga kini.

Tri Sakti juga tertuang dalam Visi 5 tahun Presiden dan wakilnya, yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong.” Tri Sakti lalu diartikulasikan dengan sembilan agenda prioritas yang mereka sebut sebagai “Nawa Cita,” sebagaimana yang termaktub dalam Grand Design (Visi-Misi dan Program Aksi) Jokowi-Jk 2014-2019, yaitu: 1) melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara, 2) membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa, 4) melakukan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, 5) meningkatkan kualitas hidup Indonesia, 6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing dipasar Internasional, 7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mengerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, 8) melakukan revolusi karakter bangsa, dan 9) memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Sembilan program aksi di atas, salah satu yang menurut paling penting dibahas adalah point 3, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa. Program ini adalah aksi nyata bahwa pemerintah sangant pro rakyat. Membangun Negara, tidak mesti dari kota, tetapi justru dimulai dari desa. Secara tidak langsung, bila desa telah terbangun maka dengan sendirinya Negara ikut terbangun. Mengingat pentingnya hal ini, pemerintah tidak sungkan-sungkan mengucurkan anggaran pembangunan desa. Melalui mentri pertanian, pemerintah juga memberikan bantuan ternak, bibit, dan ratusan alat-alat pertanian.

Jokowi bukanlah manusia sempurnah. Kebijakannya memerlukan dukungan pemuda/mahasiswa. Bagaimanapun juga, kita adalah generasi yang akan melanjutkan perjalanan bangsa. Bila memang aksi yang dilakukan atas nama rakyat, rakyat mana yang sebenarnya kita maksud? dan benarkah rakyat Gorontalo menginginkan penolakan tersebut?

Sama-sama kita awasi, yang baik kita dukung, yang keliru kita kritisi. Selama jalan kita adalah kebenaran dan bukan pemboncengan kepentingan pribadi dan golongan tertentu, selama itu pula kita berjuang.

No comments :