Lagi dan lagi, barisan pemuda Gorontalo berdiri gagah di
perempatan depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo, dengan isu
“menolak kedatangan Jokowi.” Kinerja Jokowi dipertanyakan, karena sampai dengan
detik ini realisasi program nasionalnya kurang terasa dan kurang berpihak pada
rakyat.
Dalam lembar kajian isu yang dirilis oleh kawan-kawan massa aksi,
menuliskan: kondisi penganguran di Provinsi Gorontalo sebagai mana yang mereka
kutib dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, yaitu sebesar 20.919 jiwa dan
angka kemiskinan mencapai 17,44% (Gorontalo, masuk dalam daftar 5 Provinsi
termiskin). Terjadinya pengangguran dan kemiskinan daerah (orasi peserta aksi)
ditenggarai disebabkan oleh kebijakan Presiden. Hemat penulis, tujuan dari aksi
yang digelar, tuntuntannya kurang tepat sasaran. Karena beberapa persoalan
daerah yang ditujukan pada Gubernur, sentral tuntutan dari aksi yang dibangun,
isunya justru dilimpahkan pada nasional.
Beberapa tuntutan juga dinilai kurang mengena. Seperti tuntutan
pada poin pertama dan ke empat. Pertama, “tolak investor asing yang akan
menguasai sektor-sektor produksi SDA di Gorontalo karena menyengsarakan
rakyat.” Tuntutan ini sangat lemah, karena masuknya investor asing tidak
selamanya melalui izin pusat melulu. Gubernur, walikato/bupati bisa melakukan
persetujuan dan bisa pula melakukan penolakan.
Tuntutan ke empat berbunyi “bangun industri daerah dan
memacu home industry untuk membuka lapangan kerja yang nyata.”
Pertanyaannya, siapkah kawan-kawan menjadi pekerjanya? Sementara banyak dari
kita (mahasiswa) dan yang sudah sarjana justru bermental kantoran yang
ruangannya ber-AC; dan dalam hal ini, apakah memicu home
Industri harus presiden lagi yang turun tangan? Mengapa bukan kita
saja yang menjadi pemantik dan pelakunya?
Menurut Ekonom Kementrian Keuangan RI, Dr. Muh. Amir Arham dalam
tulisannya di Gorontalo Pos (Sabtu, 19 Maret 2016), menyatakan bahwa meskipun
Gorontalo termasuk daerah miskin, tetapi angka penganggurannya termasuk rendah
di bawah 5%. Nalarnya, jika angka kemiskinan tinggi, seharusnya angka
penganggurannya juga tinggi, tapi yang terjadi di Gorontalo
kebalikannya─paradoks. Beliau juga berpendapat, bahwa terjadinya pengangguran
terbuka disebabkan oleh usia angkatan kerja yang telah menyelesaikan
pendidikannya diperkotaan tidak kembali ke daerahnya. Menurut analisis beliau
berdasarkan data, tamatan sekolah menengah dan sarjana angka penganggurannya
lebih tinggi ketimbang pengangguran yang berpendidikan SD.
Selain itu, terjadi pula kerancuan pada tuntutan kelima, aliansi
meminta “ubah kriteria rakyat miskin menurut BPS.” Memang benar, kriteria
“miskin” memiliki indikator yang berbeda hampir disetiap instansi yang
berhubungan dengan kependudukan. Anehnya, data kemiskinan dan pengangguran yang
menjadi acuan peserta aksi justru berdasarkan pada data BPS. Aliansi tidak
sepakat kriteria kemiskinan, tapi mengapa tetap menggunakan data itu?Atau
mungkin hanya data dari BPS yang bisa diperoleh. Ibarat mengeluh pemadaman
listrik dan mengharapkan solusi, tapi ketika ada pembangunan listrik berdaya
tinggi, justru orang yang mencanankan dilarang datang meresmikan.
Untuk apa menolak kedatangan Jokowi? Bukankah menjadi kebanggaan
daerah bila sang nahkoda Indonesia berlabuh di tanah ini? Terlebih lagi, Jokowi
mencatatkan namanya sebagai presiden pertama Indonesia yang dapat mengunjungi
Gorontalo untuk yang kedua kalinya dalam satu masa kepemimpinannya. Soekarno,
Bapak Proklamator Indonesia adalah presiden yang juga dua kali menginjakkan
kakinya di daerah ini. Bedanya, Soekarno datang untuk Mempersatukan Wilayah
Nusantara dan konsolidasi Pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara kedatangan Jokowi adalah untuk meresmikan wajah baru Bandara
Djalaluddin dan untuk meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) berkekuatan
100 MW. Kedatangan mantan Gubernur DKI Jakarta ini, sekaligus menegaskan dan
membuktikan, bahwa ia tidak marah kepada rakyatnya, meskipun pada pemilihan
presiden 2014 kemarin, Gorontalo lebih memihak ke pasangan lain.
Penulis sempat bertanya-tanya, seberapa pentingkah peresmian PLTG
dari presiden itu? Ternyata, pemerintah RI, sebelumnya telah mencanangkan
pembangunan listrik berdaya 35.000 MW di Indonesia, dan yang ada di Paguat,
Pohuwato, adalah yang lebih dulu usai.
Kebijakan Pro Rakyat
Apakah program pemerintah pusat masih tidak berpihak pada rakyat?
Selain listrik, adanya “Asuransi Pertanian” untuk mengatasi gagal panen,
anggaran desa yang dinaikkan, berhasil mengakusisi blok Mahakam untuk dikelola
pertamina yang selama ini dikuasai Amerika, pembangunan kereta Api
Trans-Sulawesi Makassar-(isimu)-Manado, Mendirikan pabrik semen di Papua,
renegosiasi Freeport, membentuk badan ekonomi kreatif, menuntaskan ganti rugi
korban lapindo setelah sembilan tahun terabaikan, apakah itu juga bukan pro rakyat?
Untuk diketahui, beberapa Pemuda Serambi Madinah yang menamakan
diri Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) Gorontalo, telah menggelar dua kali aksi
mimbar bebas “Penolakan Kedatangan Jokowi.” Pada aksi yang kedua, 22-4-2016.
Tak hanya menuntut, aliansi juga memberikan jalan keluar sebagaimana yang
mereka kutip dari pidato Bung Karno “Apabila keadaan ekonomi bangsa Indonesia
dalam keadaan yang tidak stabil, maka kembalikan pada Trisakti dan Pancasila,
dan apa bila itu tidak mampu, maka kembalikan pada amanat penderitaan
rakyat, turunkan harga bahan makanan pokok.”
Nawa Cita dan Tri Sakti Senafas
Jokowi dan Soekarno memiliki beberapa persamaan dalam hal menata
Indonesia. Tri Sakti adalah gagasan Soekarno, sementara Jokowi menawarkan Nawa
Cita. Tri sakti berpilar pada Kedaulatan Politik, Berdikari dalam ekonomi, dan
Berkepribadian dalam Kebudayaan. Soekarno, begitu konsisten dengan gagasannya,
dibuktikan dengan komitmennya menolak masuknya kepentingan modal asing dalam
negeri. Bagi anti asing, istilah “Amerika kita Setrika, Inggris kita Linggis,”
adalah salah satu kutipan pidato Bung Karno yang masih terngiang hingga kini.
Tri Sakti juga tertuang dalam Visi 5 tahun Presiden dan wakilnya,
yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong.” Tri Sakti lalu diartikulasikan dengan sembilan agenda prioritas
yang mereka sebut sebagai “Nawa Cita,” sebagaimana yang termaktub dalam Grand
Design (Visi-Misi dan Program Aksi) Jokowi-Jk 2014-2019, yaitu: 1)
melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara,
2) membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya, 3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa, 4) melakukan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, 5) meningkatkan kualitas hidup
Indonesia, 6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing dipasar
Internasional, 7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mengerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik, 8) melakukan revolusi karakter
bangsa, dan 9) memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia.
Sembilan program aksi di atas, salah satu yang menurut paling
penting dibahas adalah point 3, membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa. Program ini adalah aksi nyata bahwa
pemerintah sangant pro rakyat. Membangun Negara, tidak mesti dari kota, tetapi
justru dimulai dari desa. Secara tidak langsung, bila desa telah terbangun maka
dengan sendirinya Negara ikut terbangun. Mengingat pentingnya hal ini,
pemerintah tidak sungkan-sungkan mengucurkan anggaran pembangunan desa. Melalui
mentri pertanian, pemerintah juga memberikan bantuan ternak, bibit, dan ratusan
alat-alat pertanian.
Jokowi bukanlah manusia sempurnah. Kebijakannya memerlukan
dukungan pemuda/mahasiswa. Bagaimanapun juga, kita adalah generasi yang akan
melanjutkan perjalanan bangsa. Bila memang aksi yang dilakukan atas nama
rakyat, rakyat mana yang sebenarnya kita maksud? dan benarkah rakyat Gorontalo
menginginkan penolakan tersebut?
Sama-sama kita awasi, yang baik kita dukung, yang keliru kita
kritisi. Selama jalan kita adalah kebenaran dan bukan pemboncengan kepentingan
pribadi dan golongan tertentu, selama itu pula kita berjuang.
No comments :
Post a Comment