***
Judul di atas tentu sudah lumrah di
telinga kita. Bagi penulis,
judul tersebut cukup menggelitik. Mungkin kita bertanya setelah melihat judul
tersebut, kenapa yah kita yang manusia perlu dimanusiakan? Apakah selama ini
kita bukan manusia? Lantas, manusia bagaimanakah yang dimaksud itu? Jika
pertanyaan seperti ini hadir di benak, berarti kita tengah menuju manusia yang
sesungguhnya, karena salah satu ciri khas manusia terletak pada kemampuan
berpikirnya yang bisa digunakan untuk bertanya. Iblis dan malaikat juga bisa
bertanya kok. Jadi, apa bedanya kita dengan kedua makhluk itu? Maaf, aku sedang berpura menjadi
Sekuler.
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya
penulis sedikit mengulas titik tolak pemikiran Freire agar selanjutnya kita mudah
memahami sampai kenapa Freire menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah Humanisasi, memanusiakan kembali
manusia. Menurut Freire, di dunia ini begitu banyak manusia yang menderita,
sementara sebagian lainnya menuai nikmat di atas derita orang-orang dengan
cara-cara yang tidak adil. Ironisnya, para penikmat justru hanyalah golongan
minoritas dari umat manusia. Kenyataan inilah yang membuat Budiman Sujatmiko
menyatakan, bahwa sebenarnya di dunia ini hanya sedikit orang jahatnya dan yang
banyak itu adalah para pecundangnya.[2]
Persoalan ini lalu diistilahkan oleh Freire sebagai Situasi Penindasan.
Bagi Freire, apa pun alasannya,
penidasan tidaklah manusiawi, menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi), dan
merupakan pembengkokan cita-cita menuju manusia yang utuh. Dehumanisasi ini bersifat
ganda, dalam artian, terjadi pada diri mayoritas orang ter-tindas dan minoritas kaum pe-nindas.
Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasinya dinistakan,
dibuat tidak berdaya, dan dibenamkan dalam kebudayaan
Bisu.[3]
Ada pun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah
mengingkari hakekat keberadaan dan hati nuraninya sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi sesamanya. Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita
untuk menjadi manusia seutuhnya, cepat atau lambat kaum tertindas harus bangkit
berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan
ini bermakna, kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan kembali
kemanusiaannya, berubah menjadi penindas kaum penindas, melainkan mereka musti
memanusiakan kembali keduanya.
Bangkit melawan hanya bisa terjadi bila
individu/masyarakat menjadi subjek sadar
akan situasi penindasan. Sadar, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi
ada sebab, sehingga bersikap tidak pasrah, dan menganggap kenyataan adalah
situasi yang bisa diubah. Misalnya, ketika kita termasuk orang miskin, maka
kita harus sadar bahwa kita benar-benar adalah orang miskin dan kemiskinan yang
dialami pasti ada penyebabnya, malah boleh jadi kemiskinan kita adalah akibat dari tindakan pemiskinan
dari para penindas yang dalam konteks kekinian para penindas berlindung di
balik topeng kemurah-hatian palsu sehingga yang tertindas akan selalu menadahkan
tangannya dengan gemetar. Tidak
semua penindas bahagia dengan penindasanya. Kadang pula, para penindas yang
sadar, akan didera kegelisahaan dan kepedihan, namun kesadaran bahwa dirinya
menindas tidak serta merta menjadikan ia solider terhadap orang yang
ditindasnya. Ia akan mencoba menenangkan rasa bersalahnya dengan memperlakukan
si tertindas secara paternalistik (melindungi
dan memperhatikan si tertindas), namun dengan perlakuan itu ia menjadikan si
tertindas semakin bergantung padanya. Kecuali, bila para penindas yang sadar
mengubah solider menjadi solider sejati yang berarti ia berjuang di sisi
mereka, memberikan hak-haknya, membebaskan suaranya dari kebisuan, dan
memperlakukannya secara arif dan penuh cinta.
Adanya
kesadaran tentang kemiskinan yang menimpa, serta memahami sebab
kemiskinan yang melanda, maka kita akan berikhtiar untuk keluar dari zona
kemiskinan tersebut dengan cara memunculkan kemurah-hatian sejati.[4]
Ketika, kemurah-hatian palsu membuat kaum tertindas menadahkan tangan, maka
kemurah-hatian sejati berusaha agar tangan-tangan itu (individu/rakyat),
menjadi tangan-tangan yang bekerja untuk mengubah kenyataan. Tangan-tangan itu pula yang digunakan
untuk memberontak kepada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Sementara,
bagi orang yang tidak sadar, akan menerima kenyataan kemiskinan sebagai nasib
atau pemberian dari tuhan yang harus dia terima dan dijalaninya.
Maka dari itu, manusia sebagai animal rationale[5]
pasti mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan
bekal pikiran dan tindakan itu ia merubah dunia dan kenyataan. Meskipun manusia
dan binatang sama-sama memiliki naluri. Namun, manusia juga memiliki kesadaran,
sadar akan dirinya, dan sadar akan kenyataan yang tengah terjadi. Selain memiliki
kemampuan berpikir, manusia juga memiliki kemampuan merasa.[6]
Perasaan ini selalu bersifat subjektif dan perasaan mampu menimbulkan suatu
kehendak.[7]
Kehendak yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan. Jika seseorang pasrah,
menyerah, apa lagi tidak sadar dan berikhtiar, sesungguhnya ia sedang tidak
manusiawi. Seorang manusiawi harus menciptakan sejarahnya sendiri dan bukan
malah menjadi pengekor sejarah atau korban sejarah. Kesadaran hanya bisa
terbentuk bila manusia sudah menjadi manusia seutuhnya, yang ia peroleh melalui
pendidikan.
Pendidikan bagi Freire berfungsi sebagai alat
pemanusiaan manusia (Humanisasi). Pendidikan yang humanis dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta
sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situlah mereka
akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri. Dalam perjuangan itu pula,
pendidikan kaum tertindas akan terus-menerus diperbaharui. Bila
individu/masyarakat telah sadar bahwa mereka adalah objek penindasan, maka
mereka dapat memberi sumbangan pada proses kelahiran pendidikan yang
membebaskan.
Pembebasan adalah kelahiran, dan
kelahiran pastilah menyakitkan. Manusia yang lahir adalah manusia baru, tapi
bukan lagi penindas dan yang ditindas, melainkan manusia yang sedang berproses
mencapai kemanusiaanya.
[1] Lihat, Paolo Freire,
Ivan Illich, Erich Fromm, (E.D). Menggugat
Pendidikan. Cetakan VIII, juli 2015, Hal. Iviii. Diterjemahkan oleh: Omi
Intan Naomi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[2] Lihat, Sujatmiko,
Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
[3] Kebudayaan bisu,
menurut Freire, adalah kondisi cultural
sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidak berdayaan dan ketakutan
umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya. Sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang
sacral, sopan, dan harus ditaati.
[5] Animal rationale adalah istilah dari ahli agama Kristen yang
berarti binatang yang berfikir.
Lihat: Zaini, Syahminah. 1984. Mengenal
Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya, PT. Bina Ilmu. Hal. 5.
[6] Lihat, Suriasumantri,
J.S. 2013. FILSAFAT ILMU; Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. Cetakan 24. Hal. 42.
[7] Koentjaraningrat.
2009. PENGATAR Ilmu Antropologi.
Jakarta; PT. Rineka Cipta. Hal. 87
No comments :
Post a Comment