Sunday, May 1, 2016

Pendidikan Sarana Memanusiakan Manusia #Paolo_Freire (SelamatHariPendidikanNasional)

***
Judul di atas tentu sudah lumrah di telinga kita. Bagi penulis, judul tersebut cukup menggelitik. Mungkin kita bertanya setelah melihat judul tersebut, kenapa yah kita yang manusia perlu dimanusiakan? Apakah selama ini kita bukan manusia? Lantas, manusia bagaimanakah yang dimaksud itu? Jika pertanyaan seperti ini hadir di benak, berarti kita tengah menuju manusia yang sesungguhnya, karena salah satu ciri khas manusia terletak pada kemampuan berpikirnya yang bisa digunakan untuk bertanya. Iblis dan malaikat juga bisa bertanya kok. Jadi, apa bedanya kita dengan kedua makhluk itu? Maaf, aku sedang berpura menjadi Sekuler.
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya penulis sedikit mengulas titik tolak pemikiran Freire agar selanjutnya kita mudah memahami sampai kenapa Freire menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah Humanisasi, memanusiakan kembali manusia. Menurut Freire, di dunia ini begitu banyak manusia yang menderita, sementara sebagian lainnya menuai nikmat di atas derita orang-orang dengan cara-cara yang tidak adil. Ironisnya, para penikmat justru hanyalah golongan minoritas dari umat manusia. Kenyataan inilah yang membuat Budiman Sujatmiko menyatakan, bahwa sebenarnya di dunia ini hanya sedikit orang jahatnya dan yang banyak itu adalah para pecundangnya.[2] Persoalan ini lalu diistilahkan oleh Freire sebagai Situasi Penindasan.
Bagi Freire, apa pun alasannya, penidasan tidaklah manusiawi, menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi), dan merupakan pembengkokan cita-cita menuju manusia yang utuh. Dehumanisasi ini bersifat ganda, dalam artian, terjadi pada diri mayoritas orang ter-tindas dan minoritas kaum pe-nindas. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasinya dinistakan, dibuat tidak berdaya, dan dibenamkan dalam kebudayaan Bisu.[3] Ada pun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mengingkari hakekat keberadaan dan hati nuraninya sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya. Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia seutuhnya, cepat atau lambat kaum tertindas harus bangkit berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan ini bermakna, kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan kembali kemanusiaannya, berubah menjadi penindas kaum penindas, melainkan mereka musti memanusiakan kembali keduanya.
Bangkit melawan hanya bisa terjadi bila individu/masyarakat menjadi subjek sadar akan situasi penindasan. Sadar, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi ada sebab, sehingga bersikap tidak pasrah, dan menganggap kenyataan adalah situasi yang bisa diubah. Misalnya, ketika kita termasuk orang miskin, maka kita harus sadar bahwa kita benar-benar adalah orang miskin dan kemiskinan yang dialami pasti ada penyebabnya, malah boleh jadi kemiskinan kita adalah akibat dari tindakan pemiskinan dari para penindas yang dalam konteks kekinian para penindas berlindung di balik topeng kemurah-hatian palsu sehingga yang tertindas akan selalu menadahkan tangannya dengan gemetar. Tidak semua penindas bahagia dengan penindasanya. Kadang pula, para penindas yang sadar, akan didera kegelisahaan dan kepedihan, namun kesadaran bahwa dirinya menindas tidak serta merta menjadikan ia solider terhadap orang yang ditindasnya. Ia akan mencoba menenangkan rasa bersalahnya dengan memperlakukan si tertindas secara paternalistik (melindungi dan memperhatikan si tertindas), namun dengan perlakuan itu ia menjadikan si tertindas semakin bergantung padanya. Kecuali, bila para penindas yang sadar mengubah solider menjadi solider sejati yang berarti ia berjuang di sisi mereka, memberikan hak-haknya, membebaskan suaranya dari kebisuan, dan memperlakukannya secara arif dan penuh cinta.
Adanya  kesadaran tentang kemiskinan yang menimpa, serta memahami sebab kemiskinan yang melanda, maka kita akan berikhtiar untuk keluar dari zona kemiskinan tersebut dengan cara memunculkan kemurah-hatian sejati.[4] Ketika, kemurah-hatian palsu membuat kaum tertindas menadahkan tangan, maka kemurah-hatian sejati berusaha agar tangan-tangan itu (individu/rakyat), menjadi tangan-tangan yang bekerja untuk mengubah kenyataan. Tangan-tangan itu pula yang digunakan untuk memberontak kepada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Sementara, bagi orang yang tidak sadar, akan menerima kenyataan kemiskinan sebagai nasib atau pemberian dari tuhan yang harus dia terima dan dijalaninya.
Maka dari itu, manusia sebagai animal rationale[5] pasti mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan itu ia merubah dunia dan kenyataan. Meskipun manusia dan binatang sama-sama memiliki naluri. Namun, manusia juga memiliki kesadaran, sadar akan dirinya, dan sadar akan kenyataan yang tengah terjadi. Selain memiliki kemampuan berpikir, manusia juga memiliki kemampuan merasa.[6] Perasaan ini selalu bersifat subjektif dan perasaan mampu menimbulkan suatu kehendak.[7] Kehendak yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan. Jika seseorang pasrah, menyerah, apa lagi tidak sadar dan berikhtiar, sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Seorang manusiawi harus menciptakan sejarahnya sendiri dan bukan malah menjadi pengekor sejarah atau korban sejarah. Kesadaran hanya bisa terbentuk bila manusia sudah menjadi manusia seutuhnya, yang ia peroleh melalui pendidikan.
Pendidikan bagi Freire berfungsi sebagai alat pemanusiaan manusia (Humanisasi). Pendidikan yang humanis dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situlah mereka akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri. Dalam perjuangan itu pula, pendidikan kaum tertindas akan terus-menerus diperbaharui. Bila individu/masyarakat telah sadar bahwa mereka adalah objek penindasan, maka mereka dapat memberi sumbangan pada proses kelahiran pendidikan yang membebaskan.
Pembebasan adalah kelahiran, dan kelahiran pastilah menyakitkan. Manusia yang lahir adalah manusia baru, tapi bukan lagi penindas dan yang ditindas, melainkan manusia yang sedang berproses mencapai kemanusiaanya.



[1] Lihat, Paolo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, (E.D). Menggugat Pendidikan. Cetakan VIII, juli 2015, Hal. Iviii. Diterjemahkan oleh: Omi Intan Naomi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[2] Lihat, Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
[3] Kebudayaan bisu, menurut Freire, adalah kondisi cultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidak berdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya. Sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang sacral, sopan, dan harus ditaati.
 [4]Kemurah-hatian sejati adalah perjuangan untuk menghancurkan sebab-musabab atau sumber-sumber kemurah-hatian palsu.
[5] Animal rationale adalah istilah dari ahli agama Kristen yang berarti binatang yang berfikir. Lihat: Zaini, Syahminah. 1984. Mengenal Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya, PT. Bina Ilmu. Hal. 5.
[6] Lihat, Suriasumantri, J.S. 2013. FILSAFAT ILMU; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. Cetakan 24. Hal. 42.
[7] Koentjaraningrat. 2009. PENGATAR Ilmu Antropologi. Jakarta; PT. Rineka Cipta. Hal. 87

No comments :