Thursday, September 1, 2016

KARIKATUR 53 TAHUN KAMPUS PERADABAN


   Selangkah melewati gerbang perempatan kampus yang berdiri sejak 1 September 1963, atmosfir kemewahan–sudah tercium – mudah kita jumpai dalam beragam bentuk: gedungnya yang tinggi-tinggi, ribuan manusia yang mampu ditampung di auditorium, lift elit di gedung rektorat, dan hotel bintang jenderal dalam kampus. Megah dan mewahnya hotel sempat pula kami nikmati ketika perkuliahan dilangsungkan pada salah satu ruangannya yang sejuk. Betah kami berlama-lama dalam ruangan, menjadi sungkan untuk meninggalkannya. Pembenahan infrastruktur ini diyakini mampu meningkatkan mutu pendidikan.

Baca Juga: Degradasi UNG Sebagai Kampus Peradaban

Hotel Damhil
Sumber: http://www.tcdamhil-ung.com/
Kampus terbesar di daerah yang merdeka 3 tahun lebih dulu ketimbang Indonesia, saya sebut namanya dengan penuh cinta “Universitas Negeri Gorontalo” berkontribusi besar dalam mengantarkan pencapaian harapan-harapan perubahan nasib. Tahun ajaran baru 2016, terdata sedikitnya empat ribu mahasiswa baru di UNG siap menduduki kursi ruang kuliah ber-ac lengkap dengan fasilitas Wifi gratis serta infokus melayang, dan siap pula dididik oleh 725 dosen. Sementara 1432 wisudawan baru saja didaulat menjadi alumni.

Begitulah gerangan gambaran pendidikan, masih dan akan terus menjadi barang mewah yang diiklankan mudah diraih. Periode Agustus-September 2016 misalnya, di kampus peradaban, seorang anak buruh tani dan anak sopir berhasil menyelesaikan studi tepat waktu dengan predikat terbaik, Cum Laude. Tidak seperti zaman kolonial, taman sekolah waktu itu bahkan begitu sulit untuk sekadar menjadi area bermain anak-anak lokal nusantara. Dewasa kini, kemewahan pendidikan bahkan mengalahkan berlian, mutiara, dan mampu menggulingkan popularitas batu akik. Grafik peningkatan kebutuhan akan pendidikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Meski pengangguran bergelar sarjana juga terus meningkat dibanding tamatan sekolah dasar dan menengah, jenjang pendidikan, terutama pendidikan tinggi masih dipercaya mampu memuluskan jalan kehidupan yang mulanya penuh noda-noda kesengsaraan.

Seperti mirisnya melihat rumah-rumah reyot, gelandangan, pengemis, di tengah-tengah kepungan gedung pencakar langit Jakarta. Mengecap kemewahan pendidikan tinggi tidaklah semudah membeli nasi kuning di pinggir jalan.  Ada proses seleksi di dalamnya. Dimana tanah miskin dan kaya dikotakkan, lantas diwarnai agar mendapatkan mahar yang berbeda. Kita mengenalnya dengan sistem uang kuliah tunggal (UKT). UKT merupakan keseluruhan biaya kuliah mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri, ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Pembayaran selain uang semester tersebut adalah pembangkangan terhadap Permen DIKBUD RI No. 55 Tahun 2013 Pasal 5, tentang Biaya Kuliah Tunggal yang menyatakan “Perguruan tinggi negeri tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program Sarjana (S1) dan program diploma mulai tahun akademik 2013– 2014.” Sayangnya, aturan tinggal aturan. Birokrasi universitas memiliki otonomi tersendiri. Mahasiswa angkatan 2013 misalnya, masih harus melilit perut, mengeringkan tenggorokan, merogoh rupiah  agar bisa menunaikan kewajibannya mengajar di sekolah-sekolah (PPL II); melakukan kuliah kerja nyata di masyarakat (KKS); dan menyumbang tidak rela ke kampus agar dapat mengikuti tahapan ujian demi memperoleh gelar kesarjanaan. Dikemanakan biaya ukt yang katanya tidak ada lagi pungutan selain SPP? Lengkapnya, klik ini: TERTIPU UKT
Abdul Razak Babuntai, Ketua Senat Mahasiswa F.MIPA UNG, menyampaikan orasi di depan Perpustakaan Pusat ketika arakan keliling kampus menuntut penerapan UKT 100%
Sumber: Aliansi Senat Mahasiswa Gorontalo

   Sistem pembayaran kuliah tunggal konon dicetuskan pemerintah untuk meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan. Ada sistem kuota di dalamnya yang justru memperluas jurang kesenjangan. Andaikan kuota pembayaran kategori miskin hanya 30%, sementara jumlah keseluruhan mahasiswa kategori miskin yang terdaftar berjumlah 60%, berarti masih ada 30% lainnya yang terpaksa pindah ke pembayaran yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya, pindah ke kampus lain. Parahnya, bahkan sampai ada yang rela kembali ke kampung dengan berita “pendidikan bukan raskin yang bisa dibagi gratis dan merata.” Belum lagi misalnya dengan kelas atas yang mengaku miskin, adanya “orang dalam” makin memuluskan jalan peroleh biaya murah.

Karikatur kampus peradaban masih berlanjut.
Seperti para artis yang sibuk menyembunyikan jerawat dan keriput dengan riasan. Agar retakan dinding-dinding megah kampus yang baru dibangun itu tidak lagi nampak dari luar, maka haruslah didandani. Pemandangan itulah yang masih sering ditemui. Akan disewakan pemoles (tukang) profesional dengan kuas cat tembok ditangannya, siap menyembunyikan urat retakan yang tergambar dengar indah menghiasi dinding-dinding gedung mewah itu.


Presentasi Dr. Ayuddin  di Myanmar pada kegiatan ASEAN Federation For Enggineering
Sumber: http://www.ung.ac.id/

53 tahun Kampus Peradaban, bukan berarti miskin prestasi. Dalam perjalanannya, di bawah kepemimpinan rektor dua periode, Prof. Dr. Syamsu Qomar Badu, M.Pd. UNG, telah banyak menjalin kerjasama dengan kampus terkemuka Dunia demi peningkatan kualitas universitas dan berkontribusi dalam percepatan pembangunan daerah. Banyak dosen berhasil menjadi pembicara di kancah Internasional. Mahasiswanya pun turut berkontribusi mengharumkan nama. Seperti tiga orang mahasiswa Hukum yang berhasil pulang bersama bonus dua belas juta karena menyandang Runner Up dalam kompetisi Debat Konstitusi. Ada pula Defri Sofyan, Mahasiswa Gondrong Komunikasi, ia berhasil mengibarkan nama UNG sebab meraih urutan pertama dalam lomba Essay yang diselenggarakan di Semarang oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Torehan prestasi paling gemilang adalah 6 program studi yang sukses menyabet akreditas A. Sedikit lagi, kampus peradaban–yang rektornya dulu adalah proklamator provinsi Gorontalo, bersama doa seluruh civitas akademika dan doa seluruh masyarakat Gorontalo–segera menjadi universitas negeri dengan Akreditas A. Sehingganya, visi “Leading University dalam pengembangan kebudayaan dan inovasi berbasis potensi regional di kawasan Asia tenggara tahun 2035” benar-benar akan tergapai.

No comments :