Wednesday, August 10, 2016

KISAHKU DI GORONTALO

5 tahun sudah berlalu. Kini aku semester sebelas. 31 Agustus mendatang menjadi salah satu peristiwa lumrah bagi seorang mahasiswa, penantian panjang segera berlalu. Akhirnya aku akan Wisuda.

Dalam kamar sewa berukuran 2x3 meter, ingatanku terseret pada Juni 2011, kali pertama aku menginjakkan kaki di daerah yang dijuluki sebagai Kota Serambi Madinah. Tidak seperti kampung halamanku di Kendari, transportasi utama Gorontalo adalah Becak Motor, masyarakat di sini menyebutnya “Bentor.” Seorang kawan dari Geografi UNM sewaktu MUSWIL IMAHAGI Region V tahun 2014 menjulukinya dengan “Kota Seribu Bentor.”Berbeda dengan Medan yang joki bentornya berada di samping, joki bentor Gorontalo aman berada di belakang.

Baca juga: Juni Ke Limaku

Untuk sampai ke kota yang pernah heboh dengan lipsing Briptu Norman Kamaru, aku menumpangi kapal laut yang nama kapalnya diambil dari nama gunung tertinggi di Gorontalo, Tilongkabila. Tidak hanya itu, kafe yang terletak di dek 6 bagian belakang dinamai Limboto, nama kerajaan yang kini menjadi nama Kecamatan di Kabupaten Gorontalo. Di dalam kapal, potret kondisi Gorontalo terpajang bersama bingkai ukuran besar. 

Transportasi laut yang kunaiki dari pelabuhan Nusantara, Kendari, mengarungi lautan selama kurang lebih 2 hari 2 malam. Pelabuhan Kolonedalle yang terletak di teluk Tolo atau berada pada pinggang timur pulau Sulawesi adalah pelabuhan pertama yang disinggahi. “abk-kabek, siap muka belakang!” begitu titah kapten tiap kali kapal hendak berlabuh atau segera kembali memecah lautan. Selanjutnya, kapal berlayar menuju pelabuhan Luwuk. Dari atas kapal, Kota Luwuk terlihat lebih ramai dibanding Kolonedalle. Pemukiman penduduknya berjejer mengikuti panjangnya pantai. Bukit dan gunung di bagian baratnya seolah menjadi tembok pembatas. Sirkulasi penumpang di pelabuhan Luwuk cukup tinggi karena menjadi daerah transit beberapa daerah sekitar sekaligus sebagai gerbang timur provinsi Sulawesi Tengah.

Tiba di pelabuhan Gorontalo, aku dijemput seorang wanita berjilbab besar, berkulit putih, senyumnya tak pernah putus, namanya Kak Maulid. Setelah memesan bentor, kami pun menuju jalan Arif Rahman Hakim. Waktu itu biayanya sekitar Rp.30.000. Lalu aku diajak menyusuri jalan dengan lebar sekitar 1 meter. Jalan kecil itu berada tepat di sisi selatan dari rumah makan “Mba Puji.” Rumah yang kami tuju nampak ramai, di dalamnya terdiri dari wajah-wajah berwibawa dan raut-raut muka yang terlihat kebingungan, termasuk aku. Setelah mendengarkan arahan dari beberapa senior, aku kemudian mengetahui bahwa tempat ini merupakan rumah sewaan sekaligus Sekretariat mahasiswa asal Kabupaten Muna yang berhimpun dengan sebuah nama Kesatuan Pelajar Mahasiswa Muna Indonesia (KEPMMI).

Satu persatu raut-raut kebingungan mulai pudar setelah kami melakukan perkenalan dan saling mendengarkan kisah pertama menumpang kapal besar. Kami adalah pemuda yang baru saja lulus dari masa putih abu-abu. Bertemu dalam bingkai organisasi yang bernafaskan kekeluargaan. Kami semua sama-sama berkeinginan agar dapat melanjutkan riwayat pendidikan di Perguruan Tinggi.


Kelompok IV Perkaderan
Pengurus KEPMMI andil besar dalam proses registrasi calon mahasiswa dan penyesuaian di tempat baru. Bagi aku, KEPMMI sudah seperti keluarga. Tapi, tak mudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ada derita dan sejuta keganasan perkaderan yang harus dilalui. Berkat prosesnya selama seminggu yang terbilang mencekam, lahirlah manusia-manusia dengan kesadaran baru yang lebih baik.
Bersih Desa dengan Gembira
Salah satu hal menarik pertama di Gorontalo adalah masalah makanan. Makanan pokok mahasiswa di sini bukan nasi putih, tapi nasi kuning yang dijual dengan harga Rp.2.000/porsi. sedangkan gorengan umumnya dijual Rp.500/biji, sangat terjangkau dengan uang saku. Kenaikan BBM sebesar Rp.2.500 pada tahan 2013 menyebabkan nasi kuning menjadi Rp.3.000, sementara gorengan menjadi 2.000/3 biji, ada juga yang menjualnya 1.000/biji. Namun, saat ini nasi kuning dekat dan dalam kampus dijual dengan harga rata-rata Rp.5.000/porsinya.

Aku memilih melanjutkan studi di Gorontalo berkat informasi seorang guru Geografi di sekolahku yang istrinya adalah alumni dari Universitas Negeri Gorontalo. Sementara Kak Maulid yang menjadi kontakku dalam perjalanan adalah junior dari istri guruku.

Kadang tersirat penyesalan. Gorontalo cukup jauh dari Kendari, padahal di Makassar  dunia pendidikannya cukup tua dan jurusan Geografi di sana sudah lama ada. Kemajuan internet waktu SMA dulu tidak aku manfaatkan untuk menjelajahi dunia kampus. Meski begitu, aku sadar. Keberadaanku di  Gorontalo bagian dari pilihan hidupku yang mesti dilalui. “Masa depan tidak ditentukan dimana kita belajar tetapi bagaimana dan oleh siapa kita diajar,” begitu pesan Anis Baswedan. 

No comments :