5 tahun sudah berlalu. Kini aku semester
sebelas. 31 Agustus mendatang menjadi salah satu peristiwa lumrah bagi seorang
mahasiswa, penantian panjang segera berlalu. Akhirnya aku akan Wisuda.
Dalam kamar sewa berukuran 2x3 meter,
ingatanku terseret pada Juni 2011, kali pertama aku menginjakkan kaki di daerah
yang dijuluki sebagai Kota Serambi Madinah. Tidak seperti kampung halamanku di
Kendari, transportasi utama Gorontalo adalah Becak Motor, masyarakat di sini menyebutnya
“Bentor.” Seorang kawan dari Geografi UNM sewaktu MUSWIL IMAHAGI Region V tahun
2014 menjulukinya dengan “Kota Seribu Bentor.”Berbeda dengan Medan yang joki
bentornya berada di samping, joki bentor Gorontalo aman berada di belakang.
Baca juga: Juni Ke Limaku
Baca juga: Juni Ke Limaku
Untuk sampai ke kota yang pernah heboh
dengan lipsing Briptu Norman Kamaru, aku menumpangi kapal laut yang nama
kapalnya diambil dari nama gunung tertinggi di Gorontalo, Tilongkabila.
Tidak hanya itu, kafe yang terletak di dek 6 bagian belakang dinamai Limboto,
nama kerajaan yang kini menjadi nama Kecamatan di Kabupaten Gorontalo. Di dalam
kapal, potret kondisi Gorontalo terpajang bersama bingkai ukuran besar.
Transportasi laut yang kunaiki dari
pelabuhan Nusantara, Kendari, mengarungi lautan selama kurang lebih 2 hari 2
malam. Pelabuhan Kolonedalle yang terletak di teluk Tolo atau berada pada
pinggang timur pulau Sulawesi adalah pelabuhan pertama yang disinggahi. “abk-kabek,
siap muka belakang!” begitu titah kapten tiap kali kapal hendak berlabuh atau
segera kembali memecah lautan. Selanjutnya, kapal berlayar menuju pelabuhan
Luwuk. Dari atas kapal, Kota Luwuk terlihat lebih ramai dibanding Kolonedalle.
Pemukiman penduduknya berjejer mengikuti panjangnya pantai. Bukit dan gunung di
bagian baratnya seolah menjadi tembok pembatas. Sirkulasi penumpang di
pelabuhan Luwuk cukup tinggi karena menjadi daerah transit beberapa daerah
sekitar sekaligus sebagai gerbang timur provinsi Sulawesi Tengah.
Tiba di pelabuhan Gorontalo, aku
dijemput seorang wanita berjilbab besar, berkulit putih, senyumnya tak pernah putus,
namanya Kak Maulid. Setelah memesan bentor, kami pun menuju jalan Arif Rahman
Hakim. Waktu itu biayanya sekitar Rp.30.000. Lalu aku diajak menyusuri jalan dengan
lebar sekitar 1 meter. Jalan kecil itu berada tepat di sisi selatan dari rumah
makan “Mba Puji.” Rumah yang kami tuju nampak ramai, di dalamnya terdiri dari
wajah-wajah berwibawa dan raut-raut muka yang terlihat kebingungan, termasuk aku.
Setelah mendengarkan arahan dari beberapa senior, aku kemudian mengetahui bahwa
tempat ini merupakan rumah sewaan sekaligus Sekretariat mahasiswa asal
Kabupaten Muna yang berhimpun dengan sebuah nama Kesatuan Pelajar Mahasiswa
Muna Indonesia (KEPMMI).
Satu persatu raut-raut kebingungan mulai
pudar setelah kami melakukan perkenalan dan saling mendengarkan kisah pertama
menumpang kapal besar. Kami adalah pemuda yang baru saja lulus dari masa putih
abu-abu. Bertemu dalam bingkai organisasi yang bernafaskan kekeluargaan. Kami
semua sama-sama berkeinginan agar dapat melanjutkan riwayat pendidikan di
Perguruan Tinggi.
Kelompok IV Perkaderan |
Bersih Desa dengan Gembira |
Aku memilih melanjutkan studi di
Gorontalo berkat informasi seorang guru Geografi di sekolahku yang istrinya
adalah alumni dari Universitas Negeri Gorontalo. Sementara Kak Maulid yang
menjadi kontakku dalam perjalanan adalah junior dari istri guruku.
Kadang tersirat penyesalan. Gorontalo
cukup jauh dari Kendari, padahal di Makassar
dunia pendidikannya cukup tua dan jurusan Geografi di sana sudah lama
ada. Kemajuan internet waktu SMA dulu tidak aku manfaatkan untuk menjelajahi
dunia kampus. Meski begitu, aku sadar. Keberadaanku di Gorontalo bagian dari pilihan hidupku yang
mesti dilalui. “Masa depan tidak ditentukan dimana kita belajar tetapi
bagaimana dan oleh siapa kita diajar,” begitu pesan Anis Baswedan.
No comments :
Post a Comment