Setelah
heboh dengan fenomena Padeti Ismail, anak membunuh ayah, hingga hiu paus. Warga
Gorontalo kembali digegerkan dengan chaos
yang terjadi antara napi dan polisi. Beritanya dimuat Gorontalo Post, rabu 2
Juni. Namun, karena baku riki pergi
kuliah tadi pagi, hanya judulnya saja yang sempat terbaca. Menjelang Isya, kejadian
tersebut tersiar lagi disalah satu TV swasta nasional. Meskipun bukan prestasi,
saya merasa bangga, Gorontalo masuk TV lagi. Astagfirullah.
Di
atas meja berdebu, bungkusan sisa nasi kuning Manado yang kubeli sekitar jam 11
malam masih meninggalkan aroma lezatanya. Di meja ini pula leptopku yang tidak
kalah berdebunya masih aktif menerima perlakuanku. Pukul 02.00, Scroll mouse masih saja mau mengikuti
titah telunjuk jari kananku. Mata yang mulai terpejam lemah melihat lagi berita
chaos itu, penasaranlah aku. Beritanya
yang terpaksa kubaca (Ini Cerita Lengkap Kerusuhan Lapas Kota Gorontalo), semakin meningkatkan daya ngantuk. Membaca, memang obat
tidur paling positif. Permadani tanpa bantal dalam kotak 3x4 meter, distulah akhirnya
kepalaku terbaring.
Mata terpejam, tapi tidak
dengan pikiran. Apakah sedemikian parahnya kondisi saat ini? Kebijakan universitas
yang seenaknya (baca yang ini: T.E.R.T.I.P.U), diperparah dengan tidak
adanya aksi perlawanan mahasiswa yang katanya agen perubahan, adalah tema yang
cukup alot terbahas. Aku berdialektika dangan aku sendiri, sampai aku kagum
pada para pendekam balik jeruji besi yang bergitu berani melawan, ketimbang nyali
ciut para mahasiswa bebas.
No comments :
Post a Comment