Tuesday, February 9, 2016

Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan


Pagi ini saya tengah menerima kuliah yang disampaikan oleh “Agus Suwigno” dengan tema “Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan”. Beliau adalah seorang “master of arts” dalam bidang Pendidikan dari Universitas Amsterdam, Belanda. Beliau menjelaskan sebagaimana yang ia kutip dari Driyakara, Pendidikan bertujuan untuk hominisasi (manusia) dan humanisasi (manusiawi). Akan tetapi, sejak terjadinya “informasionalisasi” yang ditandai dengan merebaknya “teknoekonomi” yakni, temuan teknologi yang mendorong pertumbuhan ekonomi, lembaga pendidikan tinggi mendapatkan goncangan, paradigma pendidikan mulai bergeser dari “knowledge is power” menjadi “money is power”. Bergesernya paradigma perguruan tinggi adalah juga imbas dari pada dua arus tuntutan, masyarakat dan pasar kerja. Masyarakat, terutama orang tua, menginginkan agar para mahasiswa setelah sarjana dapat lansung memperoleh pekerjaan, sementara dunia kerja berharap agar para sarjana memiliki kualifikasi seperti yang diinginkannya. Perguruan tinggi kemudian berlomba-lomba menjadikan calon sarjana seperti apa yang diharapkan oleh dua arus tuntutan di atas, menjadikan para lulusannya agar lekas “laku”. Atmosfer akademik kemudian dirombak mengikuti kualifiskasi dunia kerja yang terus berubah. Gairah berfikir kritis dosen dan mahasiswa diredam. Kampus menuntut agar sarjananya memiliki “skil” kerja sesuai keinginan pasar.
Dengan agak gemetar dan gugup, saya lalu mengacungkan tangan, setelah dizinkan saya menyatakan: Mohon maaf Pak, setahu saya, kampus adalah seperti pendapat “J.A Perkins” dalam buku “Civitas Akademika” yang ditulis oleh Basri Amin dan SQB yang menyatakan: Universitas adalah perwujudan bersama atas hak manusia untuk mengetahui. Selaras dengan itu juga, dalam buku yang sama, Prof. Edward Shils menuturkan: universitas adalah wadah menemukan dan mengajarkan kebenaran-kebenaran tentang hal-hal serius dan penting. Dan salah satu “karakter warga kampus”, menurut Shils: energinya yang “aktif” untuk “memahami kenyataan, mencipta kenyataan baru, atau merubah kenyataan yang ada”. Penulis buku itu pun juga berpendapat: Universitas, adalah rumah yang mewah bagi pengetahuan dan kearifan yang terbentuk dari hasil belajar yang mendalam. Universitas sebagai lembaga Pendidikan Tinggi, bukan pendidikan dasar atau menengah. Kita datang ke kampus tidak sekadar datang dengan rutinitas, tapi hendaknya dihayati sebagai sebuah pangilan moral, bahkan dirasakan sebagai sebuah kehormatan dan keistimewaan. Prof. Heru Nugroho, SU., PhD. Dalam pidato pengukuhannya guru besar Sosiologi, Fisipol UGM bertajuk “Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi kritis” mengatakan bahwa Universitas bukan semata-semata merujuk pada gedung-gedung yang megah yang berdiri di atas tanah berhektar-hektar, yang memiliki sistem administrasi dan birokrasi canggih dan didukung oleh peralatan canggih, tapi juga merujuk kepada organisasi manusia yang memiliki “aktivitas akademik”, Universitas merupakan tempat “bertemunya para sarjana” dalam rangka “mencari kebenaran akademik” melalui berbagai benuk riset, sekaligus sebagai lembaga untuk mengembangkan kapasitas diri melalui disiplin yang diyakini oleh masing-masing insan akademik, Universitas menjadi “meeting of minds” (pertemuan pemikiran) para akademisi.
Agus Suwigno dengan roman wajah serius kembali menjelaskan, itulah kondisi ideal dari perguruan tinggi, namun dunia ini terus berkembang Nak, budaya kapitalisme telah menggurita, tidak hanya masyarakat awam yang dicengkram, sistem pendidikan kita pun telah digerogotinya. Dewasa ini, Universitas tak ubahnya “balai pelatihan” dan perusahaan “penyedia dan penyalur tenaga kerja”. Menurut Romo Drost, perubahan di dunia industri dan teknologi, telah mengubah cara pandang manusia atas manusia, menggoyahkan arah dasar universitas, dan mendesakkan paradigma baru penyelenggaan pendidikan sebagai “investasi ekonomi”. Dengan kata lain, ada tegangan filsafati dalam ketaksaan arah pendidikan tinggi, universitas khususnya saat ini.
Seorang kawan yang resah sedari tadi karena merasa rugi berstatus sebagai mahasiswa dan tak sabar menanti klimaks kuliah pagi ini bertanya dengan berang “Lantas apa solusi dari Bapak?”. “Baiklah” kata Agus Siwigno setelah menyeruput teh yang kami sediakan. Beliau kembali menjelaskan. Sederhana saja, kita harus menemukan kembali Pendidikan Tinggi. Dengan menemukan kembali Pendidikan Tinggi, saya bermaksud menunjuk upaya mengidentifikasi tuntutan-tuntutan pasar kerja tanpa sendiri kehilangan arah visionernya. Tujuan pengindentifikasian ini dua: pertama, untuk meletakkan dasar-dasar inti bagi pembentukan identitas. Kedua, menyediakan bagi para penyelenggara PT suatu rujukan untuk merumuskan kebijakan. Pada bagian ini saya mengusulkan “kualifikasi lulusan” dan “benchmark” sebagai dua hal yang perlu ditelusuri dan oleh siapapun yang peduli terhadap perkembangan PT. sembari mengajukan penalaran mengapa kualifikasi lulusan dan benchmark penting ditelusuri dan diolah, saya juga telah berupaya sebaik-baiknya agar setiap bagian penjelasan selalu disertai contoh-contoh yang relevan. Namun, sebelum saya menjelaskan kualifikasi lulusan dan benchmark, saya ingin kalian menriset sesuatu yang dapat menjadi solusi atas benturan pemikiran kita pada kuliah pagi ini.
Tiba-tiba diluar ruang kuliah ada panggilan, “ka Dilwan so makan?”
“Belum uwti,” jawabku.

“Makan dulu ka, napa ada nasi hangus sisa tadi malam dan ikan yang sudah digigit kucing”

No comments :