Wednesday, November 26, 2014

Pemandangan Apa Ini..?

“Pertanyaan besar yang kadang menghampiri ana pe diri, akan jadi apa ana nantinya setelah lulus dari kampus? Ana ini bo bingung dengan tempat dimana torang sekarang ba kuliah akan. Gelar yang akan torang sandang nantinya adalah Sarjana Pendidikan (S.Pd). Namun ingat! diluar sana sungguh banyak sarjana pengangguran.” Suaranya berat, hampir menangis. Junius, teman sekelas di kampusku curhat tentang masa depannya yang munkin suram. “Seakan gelar tidak berguna, Wan.”Junius Bingung, bagaimana dia tidak mau bingung, teman merangkap seniorku ini sudah berekor tujuh di kampus, sedikit lagi mau ditendang, dikeluarkan, karena dianggap hanya jadi kotoran fakultas. Keabadiannya, tidak dinginkan. Tapi dia belum juga menunjukkan itikad baik untuk wisuda tahun ini.
Setelah beberapa kali kuliah bersama dimata kuliah yang belum sempat dia kontrak atau mengalami gangguan nilai, seniorku kini menjadi sahabat karibku. Hanya aku yang setia mendengarkan curhatannya, pengalamannya. Walaupun terpaut 2 angkatan, tapi pertemenan kami tidak menjadikannya sebagai sekat.
Badannya agak kurusan dan orangnya humoris. Karena suka melucu, membuat dia disukai dengan siapapun. Mungkin karena itu juga, junior-juniornya tidak tega kalau senior Favorit mereka cepat bergelar. Hampir setiap Junius berjumpa adik-adik tingkat, mereka selalu mengatakan untuk mengenakan toga bersama dengan mereka saja. Keterlambatannya wisuda mungkin karena doa-doa makbul itu.
Sebagai senior, dia sudah malang-melintang di dunia kampus, asam-manisnya petualangan intelektual sudah dia cecapi semua. Dalam hubungan romantisme dia tidak kalah hebat. Capaiannya hingga sempat berpacaran dengan Bu Maria, dosen idaman, pelipur lara lelaki. Namun, kisah mereka harus pupus, karena Pak Odoh, dosen ganteng di Fakultas, lulusan S2 Jerman, berhasil menyainginya.
Junius melompat berdiri di hadapanku. “Wan, torang ke kantin jo!,” Junius mengajakku dengan semangat.
“Juga Senior, tapi mau ditraktir to?“ Aku memastikan.
“Gampang itu, Wan.” Tatapannya meruncing, menunjukkan keseriusannya.
Tidak tau ada badai apa hari ini, tumben dia mau mentraktir. Biasanya kalau mau makan, dia lebih suka silaturahim ke Kos teman-teman, hijrah dari satu kos ke kos yang lain. Mentransforasikan ilmu dengan balasan sepiring hidangan kehidupan. Tapi aku ikut saja mumpung tidak ada yang dikerja, tidak ada salahnya ikut mengisi perut, apa lagi gratis.
Kantin yang kami kunjungi berada ditempat yang strategis, di kelilingi beberapa fakultas dan taman di sisi selatan. Awalnya di sini hanya ada satu warung makan, lalu rektor baru mengubahnya, mendesainnya menjadi sentral terbesar pengisian bahan bakar perut.
Kami melabuhkan diri ke kantin yang posisinya berada di tengah-tengah keramaian. Belum sempat duduk, Junius, berbaik hati menawarkan. “Wan, ente mau makan apa?.”
Aku senyum-senyum, bahagia menjawab. “Terserah ente jo bang.”
Aku duluan duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Seniorku masih bercakap sedikit dengan pemilik warung.
Junius, berjalan menghampiri, ikut duduk. Berdampingan denganku, se arah, menghadap ke utara. Sembari menunggu pesanan, Junius dengan gaya bicara seperti sedang berpidato mengawali pembicaraan. “Wan, asal ente tau, di sini ada sekitar dua puluh penjual,” Tangan kanannya membentuk angka nol sedangkan yang kiri berbentuk V. “Hidangan yang disajikan berupa-rupa, Wan. Dari ayam bela rica hingga mahasiswi bela paha, semuanya ada.” Junius melebarkan senyumnya.
Aku terkekeh dengan pernyataanya barusan.
“Tapi, perlu di garis bawahi, Wan, untuk yang bela paha itu sajiannya gratis, tidak perlu di bayar. Boleh dipandang tapi dirasa, jangan.”
Bukan hanya aku rupanya yang tertarik mendengar argumennya. Para penikmat lain yang sempat mendengar, terkagum-kamum dan berpartisipasi melebarkan telinga. Sepertinya mereka akan menjadi pendengar terbaik.
Ibu pemilik warung mengantarkan pesanan makanan siang kami di pagi menjelas siang ini. Rupanya Junius memesan nasi ayam dan minuman dingin berwarna kuning bercampur susu. “Wan, coba ente lihat yang di arah jam dua.”
Aku tidak mengerti sebelum melihat apa yang dimaksudkannya. Mataku mencari sesuatu, semuanya terlihat biasa saja. “yang mana ente pe maksud Bang?”
Tangan Junius kini menunjuk, “Yang sana.”
Aku mengikuti arah telunjuknya. “Yang pakai jilbab biru?”
“Bukan, tapi yang sebelahnya, baju merah itu,”
Aku mengambil kecap di ujung meja untuk mengurangi kepedihan yang mungkin akan aku rasa kalau makan daging goreng bertabur rica ini. “Permisi Cewek,” wanita yang di depannya ada botol kecap ini hanya diam sambil melukiskan senyum di wajahnya.
Wah, cantik juga ini anak, pikirku sambil duduk di tempat semula. Ku bayang-bayang lagi senyumnya. Dia lumayan cantik. Ku perhatikan kembali, wajahnya putih tanpa embel-embel make-up. Pakaiannya sederhana, longgar, selonggar jilbabnya yang menutupi hingga sampaik ke pusatnya.Tidak seperti yang lain.
“Oh..yang merah itu,” Aku mulai menyendok makanan. Tidak terlalu fokus dengan pembicaraannya. “Memangnya kenapa, Bang?”
Junius masih belum menyentuh makanannya, “Jangan nga cuma lihat yang depe atas.”
Aku tersenyum lebar, nasi yang terblender di mulut hampir saja jatuh, “yang itu Bang pe maksud.” Aku menunjuk dengan pandangan. Dasar dosa nikmat. Cewek itu mungkin tidak sadar, kaki kanan yang disilangkan ke paha kiri menyisihkan pemandangan indah di antaranya. Meskipun rok yang dikenakan  panjang, tapi roknya tidak ikut terangkat bersilang.
Setelah maksudnya kumegerti, junius mulai melahap makanannya.
Seusai makan dan membayar makan, sambil duduk menunggu proses pencernaan bekerja. Junius kembali mengomentari masalah yang kami perbincangkan tadi “Saya heran Wan, mengapa cewek-cewek sekarang banyak sekali yang mengumbar auratnya. Padahal, aurat adalah harta diri yang perlu dijaga, kelak diberikan kepada yang halal dan pantas menerimanya.”
“yah, mungkin karena disorientasi Bang.” Aku menaggapi santai.
“Disorientasi bagaimana?” Kening Junius mengkerut “mereka itu justru bangga kalau diri mereka itu jadi objek pengamatan lelaki. Dasar perempuan.”
“Itulah maksudku Bang.” Aku mulai menjelaskan “wanita hari ini terlena dengan gelombang budaya yang katanya modern. Menjadikan penampilan sebagai modal utama dalam pergaulan. Penampilan munkin penting, tapi penampilan yang berakhlak jauh lebih utama. Mereka ini hanyalah korban dari film-film barat dan terutama drama korea yang selalu menampilkan gadis-gadis berparas cantik. Berpenampilan modis. Namun ingat! Mereka ini ditunggangi kepentingan Yahudi yang tentu jauh dari kebenaran dan lebih dekat dengan kejahiliaan.”
“Wanita saat ini miskin ilmu dan agama,” Junius menambahi.

“Sepertinya memang begitu Bang.” Kataku sambil berdiri. “Ayo Bang, torang ke kelas, hari ini ada pertemuan sedikit dengan pengurus Himpunan”. Junius beranjak dan kamipun meninggalkan warung makan.

No comments :