“Pertanyaan besar
yang kadang menghampiri ana pe diri, akan jadi apa ana nantinya setelah lulus
dari kampus? Ana ini bo bingung dengan tempat dimana torang sekarang ba kuliah
akan. Gelar yang akan torang sandang nantinya adalah
Sarjana Pendidikan (S.Pd). Namun ingat! diluar sana sungguh banyak sarjana
pengangguran.” Suaranya berat, hampir menangis. Junius, teman sekelas di
kampusku curhat tentang masa depannya yang munkin suram. “Seakan gelar tidak
berguna, Wan.”Junius Bingung, bagaimana dia tidak mau bingung, teman merangkap
seniorku ini sudah berekor tujuh di kampus, sedikit lagi mau ditendang,
dikeluarkan, karena dianggap hanya jadi kotoran fakultas. Keabadiannya, tidak
dinginkan. Tapi dia belum juga menunjukkan itikad baik untuk wisuda tahun ini.
Setelah beberapa kali kuliah bersama dimata kuliah yang belum sempat dia
kontrak atau mengalami gangguan nilai, seniorku kini menjadi sahabat karibku.
Hanya aku yang setia mendengarkan curhatannya, pengalamannya.
Walaupun terpaut 2 angkatan, tapi pertemenan kami tidak menjadikannya sebagai
sekat.
Badannya agak kurusan dan orangnya humoris. Karena suka melucu, membuat dia
disukai dengan siapapun. Mungkin karena itu juga, junior-juniornya tidak tega
kalau senior Favorit mereka cepat bergelar. Hampir setiap Junius berjumpa
adik-adik tingkat, mereka selalu mengatakan untuk mengenakan toga bersama
dengan mereka saja. Keterlambatannya wisuda mungkin karena doa-doa makbul itu.
Sebagai senior, dia sudah malang-melintang di dunia
kampus, asam-manisnya petualangan intelektual sudah
dia cecapi semua. Dalam hubungan romantisme dia tidak kalah hebat. Capaiannya
hingga sempat berpacaran dengan Bu Maria, dosen idaman, pelipur lara lelaki.
Namun, kisah mereka harus pupus, karena Pak Odoh, dosen ganteng di Fakultas,
lulusan S2 Jerman, berhasil menyainginya.
Junius melompat berdiri di hadapanku. “Wan, torang ke kantin jo!,” Junius
mengajakku dengan semangat.
“Juga Senior, tapi mau ditraktir to?“ Aku memastikan.
“Gampang itu, Wan.” Tatapannya meruncing, menunjukkan
keseriusannya.
Tidak tau ada badai apa hari ini, tumben dia mau mentraktir. Biasanya kalau
mau makan, dia lebih suka silaturahim ke Kos teman-teman, hijrah dari satu kos
ke kos yang lain. Mentransforasikan ilmu dengan balasan sepiring hidangan kehidupan.
Tapi aku ikut saja mumpung
tidak ada yang dikerja, tidak ada salahnya ikut mengisi perut, apa lagi gratis.
Kantin yang kami kunjungi berada ditempat yang strategis, di kelilingi
beberapa fakultas dan taman di sisi selatan. Awalnya di sini hanya ada satu
warung makan, lalu rektor baru mengubahnya, mendesainnya menjadi sentral
terbesar pengisian bahan bakar perut.
Kami melabuhkan diri ke kantin yang posisinya berada di tengah-tengah
keramaian. Belum sempat duduk, Junius, berbaik hati menawarkan. “Wan, ente mau
makan apa?.”
Aku senyum-senyum, bahagia menjawab. “Terserah ente jo bang.”
Aku duluan duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu. Seniorku masih
bercakap sedikit dengan pemilik warung.
Junius, berjalan menghampiri, ikut duduk. Berdampingan denganku, se arah, menghadap ke
utara. Sembari menunggu pesanan, Junius dengan gaya bicara seperti sedang berpidato
mengawali pembicaraan. “Wan, asal ente tau, di sini ada sekitar dua puluh
penjual,” Tangan kanannya membentuk angka nol sedangkan yang kiri berbentuk V.
“Hidangan yang disajikan berupa-rupa, Wan. Dari ayam bela rica hingga mahasiswi
bela paha, semuanya ada.” Junius melebarkan senyumnya.
Aku terkekeh dengan pernyataanya barusan.
“Tapi, perlu di garis bawahi, Wan, untuk yang bela paha itu sajiannya
gratis, tidak perlu di bayar. Boleh dipandang tapi dirasa, jangan.”
Bukan hanya aku rupanya yang tertarik mendengar argumennya. Para penikmat
lain yang sempat mendengar, terkagum-kamum dan berpartisipasi
melebarkan telinga. Sepertinya mereka akan menjadi pendengar terbaik.
Ibu pemilik warung mengantarkan pesanan makanan siang kami di pagi menjelas
siang ini. Rupanya Junius memesan nasi ayam dan minuman dingin berwarna kuning
bercampur susu. “Wan, coba ente lihat yang di arah jam dua.”
Aku tidak mengerti sebelum melihat apa yang dimaksudkannya. Mataku mencari
sesuatu, semuanya terlihat biasa saja. “yang mana ente pe maksud Bang?”
Tangan Junius kini menunjuk, “Yang sana.”
Aku mengikuti arah telunjuknya. “Yang pakai jilbab biru?”
“Bukan, tapi yang sebelahnya, baju merah itu,”
Aku mengambil kecap di ujung meja untuk mengurangi kepedihan yang mungkin
akan aku rasa kalau makan daging goreng bertabur rica ini. “Permisi Cewek,”
wanita yang di depannya ada botol kecap ini hanya diam sambil melukiskan senyum
di wajahnya.
Wah, cantik juga ini anak, pikirku sambil duduk di tempat semula. Ku
bayang-bayang lagi senyumnya. Dia lumayan cantik. Ku perhatikan kembali,
wajahnya putih tanpa embel-embel make-up. Pakaiannya sederhana, longgar,
selonggar jilbabnya yang menutupi hingga sampaik ke pusatnya.Tidak seperti yang
lain.
“Oh..yang merah itu,” Aku mulai menyendok makanan. Tidak terlalu fokus
dengan pembicaraannya. “Memangnya kenapa, Bang?”
Junius masih belum menyentuh makanannya, “Jangan nga cuma lihat yang depe
atas.”
Aku tersenyum lebar, nasi yang terblender di mulut hampir saja jatuh, “yang
itu Bang pe maksud.” Aku menunjuk dengan pandangan. Dasar dosa nikmat. Cewek itu mungkin
tidak sadar, kaki kanan yang disilangkan ke paha kiri
menyisihkan pemandangan indah di antaranya. Meskipun rok yang dikenakan panjang,
tapi roknya tidak ikut terangkat bersilang.
Setelah maksudnya kumegerti, junius mulai melahap makanannya.
Seusai makan dan membayar
makan, sambil duduk menunggu proses pencernaan bekerja. Junius kembali
mengomentari masalah yang kami perbincangkan tadi “Saya heran Wan, mengapa
cewek-cewek sekarang banyak sekali yang mengumbar auratnya. Padahal, aurat adalah
harta diri yang perlu dijaga, kelak diberikan kepada yang halal dan pantas
menerimanya.”
“yah, mungkin
karena disorientasi Bang.” Aku menaggapi santai.
“Disorientasi
bagaimana?” Kening Junius mengkerut “mereka itu justru bangga kalau diri mereka
itu jadi objek pengamatan lelaki. Dasar perempuan.”
“Itulah maksudku
Bang.” Aku mulai menjelaskan “wanita hari ini terlena dengan gelombang budaya
yang katanya modern. Menjadikan penampilan sebagai modal utama dalam pergaulan.
Penampilan munkin penting, tapi penampilan yang berakhlak jauh lebih utama. Mereka
ini hanyalah korban dari film-film barat dan terutama drama korea yang selalu
menampilkan gadis-gadis berparas cantik. Berpenampilan modis. Namun ingat!
Mereka ini ditunggangi kepentingan Yahudi yang tentu jauh dari kebenaran dan
lebih dekat dengan kejahiliaan.”
“Wanita saat ini
miskin ilmu dan agama,” Junius menambahi.
“Sepertinya memang
begitu Bang.” Kataku sambil berdiri. “Ayo Bang, torang ke kelas, hari ini ada
pertemuan sedikit dengan pengurus Himpunan”. Junius beranjak dan kamipun meninggalkan
warung makan.
No comments :
Post a Comment