Telah
lama tidak berbagi kisah, juni 2016 hanya satu tulisan yang terposting itupun
referensinya dari koran lokal. Bingung juga mau nulis apa, kata para ahli
jangan menunggu ide untuk menulis, tapi menulislah untuk menemukan ide. Para ahli
itu tidak kumengerti pola kehidupan penulisannya. Aku masih menulis entah akan
berlabuh ke mana, ide belum jua kutemukan.
Bagaimana
kalau curhat?
Oke
deh…
Aku
pulang kampung 26 Juni 2016. Berangkat dari rumah kontrakan menuju Bandara
Djalaludin Gorontalo ba’da sahur diantar Rudini, teman seperjuangan di HmI
dengan mengendarai motor Suziku FU miliknya. Bandara lama berantakan,
dinding-dindingnya sudah dirubuhkan. Dua lantai bandara baru nampak sepi dan
kotoran bertebaran di mana-mana, bandara ini telah resmi digunakan rupanya.
Tiket seharga Rp.830.000 rute Gorontalo-Kendari menujukkan penerbangan dimulai
sekitar 06.45. Tiba di bandara Sultan Hasanuddin Makassar aku heran pesawatnya
sepi, hanya tersisa beberapa penumpang dan awak kapal. Pramugari yang kutanya
bilang pesawat sudah transit sekitar 20 menit yang lalu. Beberapa langkah
meninggalkan pintu pesawat, aku mendengar pramugari berbisik kepada kawannya
“dia pasti baru bangun.” Lazimnya penumpang transit akan lewat lantai satu dan
melakukan chek in ulang, tapi aku
tidak melakukannya. Pintu keberangkatan di situlah tempatku masuk dan langsung
menunggu.
Sebelum
pulang aku dan Rudini sempat berpatungan memberikan THR ke salah satu teman
kontrakan, melaluinya kami dapat sahur dan berpuasa dengan baik. TerimakasihJ
orang rajin sepertimu akan mendapat kebaikan yang lebih baik lagi.
Satu
tahun lamanya aku baru kembali ke kota kelahiranku. Burung besi kepunyaan Lion Grup ini berputar dua kali sebelum
akhirnya mendarat di Bandara Haluoleo, cuaca kurang bersahabat. Menurut informasi
dari Ibuku, Kendari dilanda hujan sejak beberapa hari yang lalu.
Perjalan
melalui udara begitu cepat, pergi pagi sampai di rumah masih pagi juga. Sangat
berbeda bila menumpang kapal Tilongkabila, perjalannya sampai dua hari dua
malam memang membosankan, tapi minggalkan kesan bahwa kita benar-benar
menikmati proses perjalanan.
Kediamanku
di jalan lumba-lumba no. 9A tidak banyak berubah selain usia penghuninya. Tiga
orang adikku makin dewasa, anak dari kakakku sudah pandai berjalan, dan orang
tuaku kian keriput. Gigi ibuku bagian bawah bahkan telah habis, mirip seperti
ibu dari ibuku. Berbeda dengan Bapak, giginya masih utuh padahal dia besar di
pulau Kabaena yang waktu itu masih jauh dari peradaban. Kata adikku Afdal,
semasa kecilnya bapak kuat makan tebuh. Setelah mengenal sikat gigi, Bapakku
jarang alpa mengenakannya. Ibuku semasa kecil sepertinya hanya kuat makan gula
merah khas Bone, Sulawesi Selatan. Meski begitu, Ibu tetaplah wanita yang
paling aku sayangi. Niat menikah setelah wisuda S1 pun terpaksa aku urungkan
setelah beliau mengatakan “kalau mau menikah sebelum selesai S2 lebih baik
bunuh mama dulu.”
No comments :
Post a Comment