Friday, July 15, 2016

PULANG KAMPUNG

Telah lama tidak berbagi kisah, juni 2016 hanya satu tulisan yang terposting itupun referensinya dari koran lokal. Bingung juga mau nulis apa, kata para ahli jangan menunggu ide untuk menulis, tapi menulislah untuk menemukan ide. Para ahli itu tidak kumengerti pola kehidupan penulisannya. Aku masih menulis entah akan berlabuh ke mana, ide belum jua kutemukan.
Bagaimana kalau curhat?
Oke deh…

Aku pulang kampung 26 Juni 2016. Berangkat dari rumah kontrakan menuju Bandara Djalaludin Gorontalo ba’da sahur diantar Rudini, teman seperjuangan di HmI dengan mengendarai motor Suziku FU miliknya. Bandara lama berantakan, dinding-dindingnya sudah dirubuhkan. Dua lantai bandara baru nampak sepi dan kotoran bertebaran di mana-mana, bandara ini telah resmi digunakan rupanya. Tiket seharga Rp.830.000 rute Gorontalo-Kendari menujukkan penerbangan dimulai sekitar 06.45. Tiba di bandara Sultan Hasanuddin Makassar aku heran pesawatnya sepi, hanya tersisa beberapa penumpang dan awak kapal. Pramugari yang kutanya bilang pesawat sudah transit sekitar 20 menit yang lalu. Beberapa langkah meninggalkan pintu pesawat, aku mendengar pramugari berbisik kepada kawannya “dia pasti baru bangun.” Lazimnya penumpang transit akan lewat lantai satu dan melakukan chek in ulang, tapi aku tidak melakukannya. Pintu keberangkatan di situlah tempatku masuk dan langsung menunggu.
Sebelum pulang aku dan Rudini sempat berpatungan memberikan THR ke salah satu teman kontrakan, melaluinya kami dapat sahur dan berpuasa dengan baik. TerimakasihJ orang rajin sepertimu akan mendapat kebaikan yang lebih baik lagi.
Satu tahun lamanya aku baru kembali ke kota kelahiranku. Burung besi kepunyaan Lion Grup ini berputar dua kali sebelum akhirnya mendarat di Bandara Haluoleo, cuaca kurang bersahabat. Menurut informasi dari Ibuku, Kendari dilanda hujan sejak beberapa hari yang lalu.
Perjalan melalui udara begitu cepat, pergi pagi sampai di rumah masih pagi juga. Sangat berbeda bila menumpang kapal Tilongkabila, perjalannya sampai dua hari dua malam memang membosankan, tapi minggalkan kesan bahwa kita benar-benar menikmati proses perjalanan.
Kediamanku di jalan lumba-lumba no. 9A tidak banyak berubah selain usia penghuninya. Tiga orang adikku makin dewasa, anak dari kakakku sudah pandai berjalan, dan orang tuaku kian keriput. Gigi ibuku bagian bawah bahkan telah habis, mirip seperti ibu dari ibuku. Berbeda dengan Bapak, giginya masih utuh padahal dia besar di pulau Kabaena yang waktu itu masih jauh dari peradaban. Kata adikku Afdal, semasa kecilnya bapak kuat makan tebuh. Setelah mengenal sikat gigi, Bapakku jarang alpa mengenakannya. Ibuku semasa kecil sepertinya hanya kuat makan gula merah khas Bone, Sulawesi Selatan. Meski begitu, Ibu tetaplah wanita yang paling aku sayangi. Niat menikah setelah wisuda S1 pun terpaksa aku urungkan setelah beliau mengatakan “kalau mau menikah sebelum selesai S2 lebih baik bunuh mama dulu.” 

No comments :