Membaca kadang membuat mata terasa letih, ngantuk tak
terhindarkan. Selembar tulisan bak pil tidur paling mujarab. Sementara,
halaman-halaman berikutnya rindu dijamah tiada terkabul. Peristiwa pilu pernah
datang dari guru Fisika MAN 1 Kendari. Sewaktu mahasiswanya, ia giat
menghabiskan hari bersama buku, bila sehari saja tidak membaca, pusing pasti
melandanya. Dengan enteng seorang peserta didik memberikan tanggapan, “berarti
kalau tidak mau pusing jangan membaca dong Pak.” Siswa sok pintar itu adalah
Mad Khatulistiwa.
Doktrin membaca buku dan tulisan dalam bentuk apa saja saya,
lahir, ketika saya mengikuti perkaderan Kesatuan Pelajar Mahasiswa Muna
Indonesia (KEPMMI) di kota Serambi Madinah, Gorontalo. Persisnya lima tahun
lalu – di tengah kesibukannya mendidik pelajar SMA 1 Mananggu dan menyusun buku
Saya Malu Sebagai Orang Muna – dogma itu tertutur dari seorang kakak diperantauan
bernama Aspian Ibranur.
Jauh sebelum doktrin itu terdengar, sejak duduk di bangku sekolah
dasar saya sudah menghatam kisah-kisah para nabi, buku tanpa gambar yang
tersimpan di lemari kelas. Membaca ketika itu hanyalah untuk menghabiskan waktu
bila lelah bermain di halaman sekolah. Saat berseragam putih biru, kebiasaan
membaca itu masih ada. Dan bacaan paling menarik adalah petualangan Trio
detektif dan komik sewaan teman asrama. Semoga buku itu masih ada di
perpustakaan MTS, s PESRI Kendari.
Beranjak ke masa perkuliahan. Saya tercengang, sebab atmosfer
kampus sangat berbenturan dengan apa yang ada di alam ide, sebagaimana
pemahaman saya selama ini. Kondisi itupun memicu nyali untuk menyampaikan
keresahan dengan cara berbeda dari para demonstran. Sejak itu, kegiatan membaca
buku beralih membaca realitas dan sedikit demi sedikit mengikatnya dalam
tulisan dan menyebarkannya. Tulisan agitatif itu sedikit banyak terinspirasi
dari gaya kepenulisan Eko Prasetyo dalam bukunya Penguasa Tipu Rakyat dan Bangkitlah
Gerakan Mahasiswa.
Menjelang akhir masa studi strata satu, sepotong kisah dari – buku
mungil berjudul ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’ – seorang manusia yang hidup
tidak sekadar untuk menulis tetapi juga menulis untuk hidup, berhasil
meledakkan semangat untuk istiqomah menyusuri jalan sunyi kepenulisan.
Pengalamannya ditolak berpuluh kali ketika mengirim tulisan di media massa
hingga membuatnya berkesimpulan bahwa mengirim tulisan untuk ditolak adalah
perjalanan inspiratif dan mendapatkan perhatian khusus di hati ini. Meski saya
belum pernah sedikitpun ikut pelatihan menulis, berkat bacaan itu, tulisan saya
yang jauh dari kata pantas, nekat saja saya kirim ke email Gorontalo Pos. Dari
total enam tulisan yang saya kirim secara berkala, dua diantaranya berhasil
terbit.
Selasa, 11 Oktober 2016, saya akhirnya tiba di kota pelajar,
Yogyakarta. Si inspirator – penulis Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur – itu
tidak terlalu jauh untuk dipeluk kehidupannya, perasaan, dan pikirannya. Semoga
tanah ini menjadi titik keindahan perjumpaan demi menghimpun kata dalam
lembaran yang layak, lebih baik, dan terbaik.
"Tulisan 'Aku dan Buku' ini dibuat sebagai syarat pendaftaran mengikuti Volunteer Batch #4 yang diselenggarakan oleh radiobuku.com. Nantinya, peserta yang lulus akan menjadi relawan dan menyiar. Peserta juga akan dibekali teknik dasar penyiaran radio, mengikuti pelatihan jurnalistik, menulis esai, dan dapat menikmati fasilitas lainnya dari Warung Arsip. Harapan belajar nulis di Radio Buku sepertinya tertunda, karena tulisan di atas belum lulus seleksi. Saya mesti belajar lagi. Semoga masih ada kesempatan. Amin"
Baca Selanjutnya: TERTIPU DI YOGYAKARTA
No comments :
Post a Comment