“Selamat, anda terdaftrar mengikuti tahap
seleksi dari PT. Unilever. Silahkan cek email anda.” Saya hanya bisa berteriak
ria dalam hati setelah membacanya. Sms itu saya terima sekitar pukul 5.30 selasa
kemarin. Samsung J1 putihku kembali berdering pukul 11.00, kali ini pesan itu
berasal dari PT. Chevron dengan bunyi tulisan serupa dengan sebelumnya. Rejeki tidak
pergi kemana. Dalam satu hari ini, namaku terdaftar sebagai calon karyawan pada
dua perusahaan. Meskipun terlebih dahulu mengikuti wawancara.
Wednesday, September 14, 2016
MENCUMBUI PENGANGGURAN
Labels:
AVONTUR
Lokasi:Gorontalo, Indonesia
Gorontalo, Gorontalo City, Gorontalo, Indonesia
Thursday, September 1, 2016
KARIKATUR 53 TAHUN KAMPUS PERADABAN
Monday, August 22, 2016
BIAYA RAMAH TAMAH FAKULTAS MENCEKIK
![]() |
| Sumber: google |
Beberapa waktu lalu, hampir disetiap sudut ruang fakultas yang 4 jurusannya telah terakreditas A, tertempel selembar tulisan fenomenal berjudul “Lucunya Fakultas MIPA”. Tulisan tersebut membeberkan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk acara Ramah Tamah Wisudawan. Penulisnya mungkin beranggapan biaya tersebut merupakan “lelucon” berefek duka dalam tawa. Menjelang siang, lembar pemberontakan itu dilepas oleh staf karena dianggap menodai kesucian penguasa.
Wednesday, August 17, 2016
TAHEDE
Aku diolok:
Racun pengetahuan apa yang membuatmu suka belanja?
Penampilanmu begitu elok sebagai sarjana. Terus menikmati tontonan yang
terbaru. Terus mengeluarkan uang untuk makan dan pulsa. Lihatlah penampilanmu
kini sebagai calon sarjana! Rapi, cantik dan gagah.
Wajahku panas. Nafas
panjang kuhembuskan. Tangan kukepalkan. Hanya makian yang bisa kulontarkan.
Labels:
BUKU
,
EKO PRASETYO
,
TAHEDE
,
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tuesday, August 16, 2016
LAPAR? PESAN ONLINE AJA
![]() |
| Sudah Kusantap Dengan Bijaksana |
“Dilwan, dilwan?”
teriak tetangga kamar memanggil namaku.
“iya, kenapa?”
sahutku dari dalam kamar.
“nga ba pesan
nasi? Napa dia di muka ee.”
“oh, iya” jawabku seraya bergegas.
Sunday, August 14, 2016
KAWASAN PENJAHAT SUKSES MEMIKAT DUNIA
Tulisan berikut terinspirasi dari semangkuk Mie. Walaupun tidak selezat gambar dibungkusnya. Tetapi, daerah yang akan dibahas tentulah lebih mempesona dari potret yang terpampang.
Wednesday, August 10, 2016
KISAHKU DI GORONTALO
5 tahun sudah berlalu. Kini aku semester
sebelas. 31 Agustus mendatang menjadi salah satu peristiwa lumrah bagi seorang
mahasiswa, penantian panjang segera berlalu. Akhirnya aku akan Wisuda.
Labels:
AVONTUR
Lokasi:Gorontalo, Indonesia
Gorontalo, Gorontalo City, Gorontalo, Indonesia
Friday, July 15, 2016
PULANG KAMPUNG
Telah
lama tidak berbagi kisah, juni 2016 hanya satu tulisan yang terposting itupun
referensinya dari koran lokal. Bingung juga mau nulis apa, kata para ahli
jangan menunggu ide untuk menulis, tapi menulislah untuk menemukan ide. Para ahli
itu tidak kumengerti pola kehidupan penulisannya. Aku masih menulis entah akan
berlabuh ke mana, ide belum jua kutemukan.
Bagaimana
kalau curhat?
Oke
deh…
Wednesday, June 1, 2016
PENDEKAM MELAWAN
Setelah
heboh dengan fenomena Padeti Ismail, anak membunuh ayah, hingga hiu paus. Warga
Gorontalo kembali digegerkan dengan chaos
yang terjadi antara napi dan polisi. Beritanya dimuat Gorontalo Post, rabu 2
Juni. Namun, karena baku riki pergi
kuliah tadi pagi, hanya judulnya saja yang sempat terbaca. Menjelang Isya, kejadian
tersebut tersiar lagi disalah satu TV swasta nasional. Meskipun bukan prestasi,
saya merasa bangga, Gorontalo masuk TV lagi. Astagfirullah.
Thursday, May 26, 2016
T.E.R.T.I.P.U.
Sejak tercipta, yang dituntut dari manusia hingga
kini adalah berpikir. Sumantri[1]
mengartikan berpikir sebagai kegiatan untuk menemukan kebenaran. Dosen sebagai
seorang tenaga profesional dan seorang ilmuwan,[2]
mendidik mahasiswanya untuk senantiasa menemukan kebenaran-kebenaran itu. Tidak
hanya dalam pikiran, kebenaran haruslah terpatri dalam tindakan baik dari
penganjur kebenaran (dosen) maupun dari penerima anjuran kebenaran. Seperti
seorang ayah yang melarang anaknya merokok, maka sang ayah hendaklah bukan
seorang perokok.
Thursday, May 19, 2016
Saturday, May 14, 2016
RUNTUHNYA KANTOR GUBERNUR-GEOLOG VS PLANNER
Hasil penelitian yang
dilakukan Andri Saputra Jusuf- Mahasiswa Teknik Geologi Universitas Negeri Gorontalo menunjukan: kantor
Gubernur Gorontalo dibangun di atas tanah yang rentan terhadap bahaya longsor.
Andri pun merekomendasikan kepada pemerintah, bahwa lahan tersebut kurang tepat
dijadikan sebagai kawasan perkantoran. (Selengkapnya baca: Kantor Gubernur Terancam Runtuh)
1800 berbeda dengan pendapat di atas. Sesuai ilmu dan pengalamannya berhasil merancang beberapa perkantoran/perkotaan di atas gunung, Planner-Danny Pomanto, selaku perancang bangunan tersebut yang dihubungi awak Radar Gorontalo melaui pesan WhatsApp, menepis tudingan tersebut. (Selengkapnya baca: Danny Pomanto : Butuh Ilmu Memadai Rancang Kawasan)
1800 berbeda dengan pendapat di atas. Sesuai ilmu dan pengalamannya berhasil merancang beberapa perkantoran/perkotaan di atas gunung, Planner-Danny Pomanto, selaku perancang bangunan tersebut yang dihubungi awak Radar Gorontalo melaui pesan WhatsApp, menepis tudingan tersebut. (Selengkapnya baca: Danny Pomanto : Butuh Ilmu Memadai Rancang Kawasan)
Sunday, May 1, 2016
Pendidikan Sarana Memanusiakan Manusia #Paolo_Freire (SelamatHariPendidikanNasional)
***
Judul di atas tentu sudah lumrah di
telinga kita. Bagi penulis,
judul tersebut cukup menggelitik. Mungkin kita bertanya setelah melihat judul
tersebut, kenapa yah kita yang manusia perlu dimanusiakan? Apakah selama ini
kita bukan manusia? Lantas, manusia bagaimanakah yang dimaksud itu? Jika
pertanyaan seperti ini hadir di benak, berarti kita tengah menuju manusia yang
sesungguhnya, karena salah satu ciri khas manusia terletak pada kemampuan
berpikirnya yang bisa digunakan untuk bertanya. Iblis dan malaikat juga bisa
bertanya kok. Jadi, apa bedanya kita dengan kedua makhluk itu? Maaf, aku sedang berpura menjadi
Sekuler.
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya
penulis sedikit mengulas titik tolak pemikiran Freire agar selanjutnya kita mudah
memahami sampai kenapa Freire menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah Humanisasi, memanusiakan kembali
manusia. Menurut Freire, di dunia ini begitu banyak manusia yang menderita,
sementara sebagian lainnya menuai nikmat di atas derita orang-orang dengan
cara-cara yang tidak adil. Ironisnya, para penikmat justru hanyalah golongan
minoritas dari umat manusia. Kenyataan inilah yang membuat Budiman Sujatmiko
menyatakan, bahwa sebenarnya di dunia ini hanya sedikit orang jahatnya dan yang
banyak itu adalah para pecundangnya.[2]
Persoalan ini lalu diistilahkan oleh Freire sebagai Situasi Penindasan.
Bagi Freire, apa pun alasannya,
penidasan tidaklah manusiawi, menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi), dan
merupakan pembengkokan cita-cita menuju manusia yang utuh. Dehumanisasi ini bersifat
ganda, dalam artian, terjadi pada diri mayoritas orang ter-tindas dan minoritas kaum pe-nindas.
Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasinya dinistakan,
dibuat tidak berdaya, dan dibenamkan dalam kebudayaan
Bisu.[3]
Ada pun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah
mengingkari hakekat keberadaan dan hati nuraninya sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi sesamanya. Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita
untuk menjadi manusia seutuhnya, cepat atau lambat kaum tertindas harus bangkit
berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan
ini bermakna, kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan kembali
kemanusiaannya, berubah menjadi penindas kaum penindas, melainkan mereka musti
memanusiakan kembali keduanya.
Bangkit melawan hanya bisa terjadi bila
individu/masyarakat menjadi subjek sadar
akan situasi penindasan. Sadar, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi
ada sebab, sehingga bersikap tidak pasrah, dan menganggap kenyataan adalah
situasi yang bisa diubah. Misalnya, ketika kita termasuk orang miskin, maka
kita harus sadar bahwa kita benar-benar adalah orang miskin dan kemiskinan yang
dialami pasti ada penyebabnya, malah boleh jadi kemiskinan kita adalah akibat dari tindakan pemiskinan
dari para penindas yang dalam konteks kekinian para penindas berlindung di
balik topeng kemurah-hatian palsu sehingga yang tertindas akan selalu menadahkan
tangannya dengan gemetar. Tidak
semua penindas bahagia dengan penindasanya. Kadang pula, para penindas yang
sadar, akan didera kegelisahaan dan kepedihan, namun kesadaran bahwa dirinya
menindas tidak serta merta menjadikan ia solider terhadap orang yang
ditindasnya. Ia akan mencoba menenangkan rasa bersalahnya dengan memperlakukan
si tertindas secara paternalistik (melindungi
dan memperhatikan si tertindas), namun dengan perlakuan itu ia menjadikan si
tertindas semakin bergantung padanya. Kecuali, bila para penindas yang sadar
mengubah solider menjadi solider sejati yang berarti ia berjuang di sisi
mereka, memberikan hak-haknya, membebaskan suaranya dari kebisuan, dan
memperlakukannya secara arif dan penuh cinta.
Adanya
kesadaran tentang kemiskinan yang menimpa, serta memahami sebab
kemiskinan yang melanda, maka kita akan berikhtiar untuk keluar dari zona
kemiskinan tersebut dengan cara memunculkan kemurah-hatian sejati.[4]
Ketika, kemurah-hatian palsu membuat kaum tertindas menadahkan tangan, maka
kemurah-hatian sejati berusaha agar tangan-tangan itu (individu/rakyat),
menjadi tangan-tangan yang bekerja untuk mengubah kenyataan. Tangan-tangan itu pula yang digunakan
untuk memberontak kepada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Sementara,
bagi orang yang tidak sadar, akan menerima kenyataan kemiskinan sebagai nasib
atau pemberian dari tuhan yang harus dia terima dan dijalaninya.
Maka dari itu, manusia sebagai animal rationale[5]
pasti mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan
bekal pikiran dan tindakan itu ia merubah dunia dan kenyataan. Meskipun manusia
dan binatang sama-sama memiliki naluri. Namun, manusia juga memiliki kesadaran,
sadar akan dirinya, dan sadar akan kenyataan yang tengah terjadi. Selain memiliki
kemampuan berpikir, manusia juga memiliki kemampuan merasa.[6]
Perasaan ini selalu bersifat subjektif dan perasaan mampu menimbulkan suatu
kehendak.[7]
Kehendak yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan. Jika seseorang pasrah,
menyerah, apa lagi tidak sadar dan berikhtiar, sesungguhnya ia sedang tidak
manusiawi. Seorang manusiawi harus menciptakan sejarahnya sendiri dan bukan
malah menjadi pengekor sejarah atau korban sejarah. Kesadaran hanya bisa
terbentuk bila manusia sudah menjadi manusia seutuhnya, yang ia peroleh melalui
pendidikan.
Pendidikan bagi Freire berfungsi sebagai alat
pemanusiaan manusia (Humanisasi). Pendidikan yang humanis dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta
sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situlah mereka
akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri. Dalam perjuangan itu pula,
pendidikan kaum tertindas akan terus-menerus diperbaharui. Bila
individu/masyarakat telah sadar bahwa mereka adalah objek penindasan, maka
mereka dapat memberi sumbangan pada proses kelahiran pendidikan yang
membebaskan.
Pembebasan adalah kelahiran, dan
kelahiran pastilah menyakitkan. Manusia yang lahir adalah manusia baru, tapi
bukan lagi penindas dan yang ditindas, melainkan manusia yang sedang berproses
mencapai kemanusiaanya.
[1] Lihat, Paolo Freire,
Ivan Illich, Erich Fromm, (E.D). Menggugat
Pendidikan. Cetakan VIII, juli 2015, Hal. Iviii. Diterjemahkan oleh: Omi
Intan Naomi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[2] Lihat, Sujatmiko,
Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
[3] Kebudayaan bisu,
menurut Freire, adalah kondisi cultural
sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidak berdayaan dan ketakutan
umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya. Sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang
sacral, sopan, dan harus ditaati.
[5] Animal rationale adalah istilah dari ahli agama Kristen yang
berarti binatang yang berfikir.
Lihat: Zaini, Syahminah. 1984. Mengenal
Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya, PT. Bina Ilmu. Hal. 5.
[6] Lihat, Suriasumantri,
J.S. 2013. FILSAFAT ILMU; Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. Cetakan 24. Hal. 42.
[7] Koentjaraningrat.
2009. PENGATAR Ilmu Antropologi.
Jakarta; PT. Rineka Cipta. Hal. 87
Saturday, April 23, 2016
MESKI TAK MENGAPA, MENGAPA MENOLAK KEDATANGAN JOKOWI?
Lagi dan lagi, barisan pemuda Gorontalo berdiri gagah di
perempatan depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo, dengan isu
“menolak kedatangan Jokowi.” Kinerja Jokowi dipertanyakan, karena sampai dengan
detik ini realisasi program nasionalnya kurang terasa dan kurang berpihak pada
rakyat.
Tuesday, April 12, 2016
SETEGAR AYAHKU
Sumber: http://tokeinfo.com/
Sebagai seorang bocah yang mulai belajar. Hanya sedikit
kenangan yang bisa kuingat tentang sosok kedua orang tua Ayahku. Ayahku yang telah
lama menjadi yatim-piatu. Aku yang masih kecil waktu itu, tak tau bagaimana
pilu hatinya sewaktu ke dua orang tuanya telah tiada.
Sejak SD, tahun 1999, hingga saat ini 2016. Aku banyak
menyaksikan betapa sedihnya seseorang bila ditinggalkan Ayah, ibu, maupun
saudaranya. Air mata itu kulihat membasahi pipi-pipi mereka, seolah terus mengalir
tiada henti. Kesedihan yang terus memeluk hati ketika melantunkan ayat Al-Quran
atau ketika lagi menyepi mengenang. Aku hanya bisa mengatakan bagi mereka yang
ditinggalkan “yang sabar kawan, yang
kuat kawan.” Tapi apakah akan sekuat dan setabah mereka, jika yang tertimpa
adalah Aku? Entahlah, bagaimana rasanya bila salah satu keluargaku yang masih utuh,
pergi menghadap Ilahi.
Tahun 2013 silam, beberapa hari setelah Idul Fitri,
sebelum Aku balik ke Gorontalo. Dalam suatu kesempatan shalat maghrib berjamaah
dengan Ayahku di rumah, setelah berdoa, ketika tiba giliranku bersalaman dengan
beliau, tangan keriput yang pernah membimbingku,
memegang kemudi sepeda dari desa ke desa menjajakan barang demi sesuap nasi
keluarga, mengelusku ketika sakit, menggendongku tanpa keluh ketika di kelas 4
SD salah satu tulang rusukku patah, itu kucium dan teringat akan segala dosa yang
telah aku lakukan. Aku yang berkumis, dengan usia 21 tahun, lantas memeluknya
dan berbaring di pangkuannya. Wajah ini kusembunyikan di pinggangnya, air mata tak
kuasa kubendung. Dengan penuh sesal dan suara parau, kata-kata maaf yang
kupendam dengan sombong selama ini pun tumpah begitu saja seperti mengalirnya
air bendungan yang tiba-tiba betonnya retak lantas hancur.
Ayahku ikut menguraikan air mata. Air mata yang seharusnya tidak pantas untuk anaknya
yang nakal dan congak ini. Lantas, kata-kata itu pun berbisik hingga ke hatiku “bapak
sudah maafkan kamu nak, bahkan sebelum kamu meminta maaf.”
Sumber: http://ajus-junio.blogspot.co.id/
Monday, April 11, 2016
UNIKNYA JULUKAN DOSEN MATEMATIKA UNG
Sumber: google
Malam ini, di salah
satu warung kopi yang berada di Kota Gorontalo, sorang kawan lama bercerita
tentang salah satu kebiasaan dosen di jurusannya. Julukan yang menurut saya
cukup unik dan bermakna dalam. Kalau Indonesia pernah heboh dengan penipuan dengan
modus “mama minta pulsa”; gempar dengan “papa minta saham.” Di jurusan kawanku
ini malah popular istilah “Dosen Minta Flash Disk.”
Friday, April 8, 2016
MERANA MENUJU SARJANA (Stop Pungutan!)
Sumber: google.com
Tulisan ini dibuat sebab kegundahan seorang kawan mahasiswa disuatu pagi, awal minggu pertama di bulan April 2016 yang cerah, kala ia tengah mengurus kelengkapan administrasi menuju sarjananya. Ia bercerita dengan bibir senyum yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Ia terheran, tidak terpukau, namun, merasa miris setelah mengetahui bahwa kelengkapan administrasi yang ia butuhkan hanya dapat diperoleh dengan mudah bila merogoh rupiah terlebih dahulu.
Monday, April 4, 2016
ORGANISASI BUNGKAM, BUBARKAN SAJA!
Megaphone
kini pengangguran, tidak ada lagi yang berteriak melaluinya. Aspal jalan rindu
sentakan sepatu dan bakar bannya mahasiswa. Mulut mahasiswa kini lebih doyan
koprol sana-sini. Lebih suka memanjakan kaki sembari ngumpul, ngumpat, dan
ngompolin pemerintah di warung kopi. “Kalau sekadar bicara burung beo juga
bisa” guman Iwan Fals yang resah. Apa lagi yang mau diharapkan dari generasi
retorika namun bungkam dihadapan ancaman? Berbicara memang adalah manifestasi
dari berpikir. Namun, jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, yang kicauan
pemikiran perubahan hanya sampai di pintu sekretariat.
Budiman
Sujatmiko berkata, sebenarnya negeri ini hanya segelintir saja yang menjadi penjahat,
yang banyak itu orang yang pengecut.[i]
Mungkin kita (mahasiswa) termasuk dalam kategori “pengecut” itu. Atau
barangkali kita seperti para filsuf sebagaimana yang digambarkan oleh Soekarno,
orang yang menutup dirinya di dalam kamar menghadapi buku, jikalau ia pun
keluar dari kamar malam-malam memandang bintang di langit, lantas berfalsafah.[ii]
Tapi, para filsuf masihlah lebih baik, mereka tetap membaca buku ketimbang kita
yang hanya sibuk di dunia imaji gadget. Padahal, Negara-negara maju ditandai
dengan masyarakat yang gemar membaca; orang-orang hebat juga gemar membaca.
Bahkan Soekarno adalah orang yang rajin membaca, tetapi dia tidak hilang terbenam di dalam debunya.[iii] Bagi Soekarno, buku adalah a guide to action, satu pimpinan untuk
beraksi. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Membaca merupakan
titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. UNG, Kampus peradaban, kampus
yang mahasiswa dan dosennya gemar membaca. Begitukah?
Kawan-kawan
Kampus berdiri bukan sekadar untuk melahirkan
sarjana. Kampus diselengarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal
kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa dilatih bukan
untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik.[iv] Kelas kuliah bukanlah
tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga.[v]
Kampus dan dosen dengan dogma “datang-patuh-pulang” seakan
mengkhianati berdirinya kampus itu sendiri. Padahal tak semua manusia
sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO. Steve Joobs berhenti kuliah,
Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan Mark Zuckerberg keluar dari
kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan mempengaruhi perubahan
sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus cepat. Dalam konteks
Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa pusing berpikir soal
IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Pramoedya
Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.[vi]
Gerakan mahasiswa mesti kembali
tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan mengerakkan. Ia
mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana jiwa jalanan
direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten menyatakan
perlawanan dari berbagai sektor. Agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung
dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai
kecil, tak bisa ikut UAS-UTS.[vii]
Agar pungutan-pungutan siluman bertopeng aturan tanpa rasionalisasi segera
lenyap. Tidak ada lagi mahasiswa yang diperas oleh yang terhormat dosen-dosen
pemangku kepentingan.
Kawan-kawan
Saat
kita resmi menjadi mahasiswa, saat itu juga sebenarnya kita sedang menggunakan
toga yang talinya masih di kiri. Hanya saja saya heran, kenapa kucir (tali)
toga pada saat wisuda, harus dipindahkan dari kiri ke kanan, kenapa bukan dari
kanan-kiri? Setelah saya riset, Akhirnya saya temukan jawabannya di Wc, ketika
cebok. Cebok cenderung megunakan tangan kiri, cebok artinya membersihkan, dan
kiri menurut Jacob[viii]
bermakna radikal (berdasar, kritis, dan menanduk). Jadi kalau ada birokrasi
kampus atau pemerintah yang berkelakuan busuk macam t.a.i. Mereka harus kita
cebok.
Organisasi yang masih
bungkam dan takut melawan, bubarkan saja!
[ii]Pidato Soekarno, ketika menerima gelar Doctor
Honoris causa dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang
Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iii]Pidato
Presiden (Rektor) Universitas Hasanuddin, Arnold Mononutu. Ketika memberikan
gelar Doctor Honoris causa kepada Soekrno dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan
Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas
Hasanudin.
[iv]
2014. Pengkhianatan
Kampus Dalam Film Senyap. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2014/12/pengkhianatan-kampus-dalam-film-senyap/
[v] [v]____.2015.
Apa Kabar Mahasiswa. Harian
Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2015/11/apa-kabar-mahasiswa/
[vi]Menteri Koordinator dan Kebijakan
Eksternal BEM KM UGM.2015. review Buku
"Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" karya Eko Prasetyo (Resist Book,
Yogyakarta). Diakses di: http://kotakkataotak.blogspot.co.id/2015/03/bangkitlah-gerakan-mahasiswa.html
[vii] Ibid.
[viii] Prof. Dr. T. Jacob. Lahir pada 6
desember 1929. Pernah Menjadi Gurubesar tamu Diego State University,
California, Museum d’Historie Naturelle, dan college de France, Paris. Beliau
juga adalah mantan Sekeretaris dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Rektor UGM,
dan mantan Anggota MPR. Lihat. Jacob.1995. Beginilah
Kondisi Manusia.Jakarta, Balai Pustaka.
Tuesday, March 29, 2016
REKTOR UNG MEROKOK, SEANDAINYA
https://plus.google.com/+mardiahms94
Menurut
Labionda, teman saya, merokok adalah aktivitas membanggakan, bahkan “Labionda”
pernah berkata: “ada kodok di atas
genteng” “tidak merokok tidak
ganteng”. Pantun ini menyesatkan. Padahal, pantun ini seharusnya berbunyi “ambil genteng lempar perokok” “ngana pe ganteng macam kodok”
Sunday, March 13, 2016
HARMONI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA GORONTALO
Seperti
kerendahhatian yang ditunjukkan air dengan sifatnya “taluhu sifati moopa”
(mencari tempat yang rendah). Yang berilmu laksana padi, makin berisi makin
merunduk.
Subscribe to:
Comments
(
Atom
)











