Wednesday, September 14, 2016

MENCUMBUI PENGANGGURAN


 “Selamat, anda terdaftrar mengikuti tahap seleksi dari PT. Unilever. Silahkan cek email anda.” Saya hanya bisa berteriak ria dalam hati setelah membacanya. Sms  itu saya terima sekitar pukul 5.30 selasa kemarin. Samsung J1 putihku kembali berdering pukul 11.00, kali ini pesan itu berasal dari PT. Chevron dengan bunyi tulisan serupa dengan sebelumnya. Rejeki tidak pergi kemana. Dalam satu hari ini, namaku terdaftar sebagai calon karyawan pada dua perusahaan. Meskipun terlebih dahulu mengikuti wawancara.

Thursday, September 1, 2016

KARIKATUR 53 TAHUN KAMPUS PERADABAN


   Selangkah melewati gerbang perempatan kampus yang berdiri sejak 1 September 1963, atmosfir kemewahan–sudah tercium – mudah kita jumpai dalam beragam bentuk: gedungnya yang tinggi-tinggi, ribuan manusia yang mampu ditampung di auditorium, lift elit di gedung rektorat, dan hotel bintang jenderal dalam kampus. Megah dan mewahnya hotel sempat pula kami nikmati ketika perkuliahan dilangsungkan pada salah satu ruangannya yang sejuk. Betah kami berlama-lama dalam ruangan, menjadi sungkan untuk meninggalkannya. Pembenahan infrastruktur ini diyakini mampu meningkatkan mutu pendidikan.

Monday, August 22, 2016

BIAYA RAMAH TAMAH FAKULTAS MENCEKIK

Sumber: google

Beberapa waktu lalu, hampir disetiap sudut ruang fakultas yang 4 jurusannya telah terakreditas A, tertempel selembar tulisan fenomenal berjudul “Lucunya Fakultas MIPA”. Tulisan tersebut membeberkan besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk acara Ramah Tamah Wisudawan. Penulisnya mungkin beranggapan biaya tersebut merupakan “lelucon” berefek duka dalam tawa. Menjelang siang, lembar pemberontakan itu dilepas oleh staf karena dianggap menodai kesucian penguasa.

Wednesday, August 17, 2016

TAHEDE

Aku diolok:
Racun pengetahuan apa yang membuatmu suka belanja? Penampilanmu begitu elok sebagai sarjana. Terus menikmati tontonan yang terbaru. Terus mengeluarkan uang untuk makan dan pulsa. Lihatlah penampilanmu kini sebagai calon sarjana! Rapi, cantik dan gagah.
Wajahku panas. Nafas panjang kuhembuskan. Tangan kukepalkan. Hanya makian yang bisa kulontarkan.

Tuesday, August 16, 2016

LAPAR? PESAN ONLINE AJA

Sudah Kusantap Dengan Bijaksana
“Dilwan, dilwan?” teriak tetangga kamar memanggil namaku.
“iya, kenapa?” sahutku dari dalam kamar.
“nga ba pesan nasi? Napa dia di muka ee.”
“oh, iya” jawabku seraya bergegas.

Sunday, August 14, 2016

KAWASAN PENJAHAT SUKSES MEMIKAT DUNIA

Tulisan berikut terinspirasi dari semangkuk Mie. Walaupun tidak selezat gambar dibungkusnya. Tetapi, daerah yang akan dibahas tentulah lebih  mempesona dari potret yang terpampang.


Wednesday, August 10, 2016

KISAHKU DI GORONTALO

5 tahun sudah berlalu. Kini aku semester sebelas. 31 Agustus mendatang menjadi salah satu peristiwa lumrah bagi seorang mahasiswa, penantian panjang segera berlalu. Akhirnya aku akan Wisuda.

Friday, July 15, 2016

PULANG KAMPUNG

Telah lama tidak berbagi kisah, juni 2016 hanya satu tulisan yang terposting itupun referensinya dari koran lokal. Bingung juga mau nulis apa, kata para ahli jangan menunggu ide untuk menulis, tapi menulislah untuk menemukan ide. Para ahli itu tidak kumengerti pola kehidupan penulisannya. Aku masih menulis entah akan berlabuh ke mana, ide belum jua kutemukan.
Bagaimana kalau curhat?
Oke deh…

Wednesday, June 1, 2016

PENDEKAM MELAWAN


Setelah heboh dengan fenomena Padeti Ismail, anak membunuh ayah, hingga hiu paus. Warga Gorontalo kembali digegerkan dengan chaos yang terjadi antara napi dan polisi. Beritanya dimuat Gorontalo Post, rabu 2 Juni. Namun, karena baku riki pergi kuliah tadi pagi, hanya judulnya saja yang sempat terbaca. Menjelang Isya, kejadian tersebut tersiar lagi disalah satu TV swasta nasional. Meskipun bukan prestasi, saya merasa bangga, Gorontalo masuk TV lagi. Astagfirullah.

Thursday, May 26, 2016

T.E.R.T.I.P.U.



Sejak tercipta, yang dituntut dari manusia hingga kini adalah berpikir. Sumantri[1] mengartikan berpikir sebagai kegiatan untuk menemukan kebenaran. Dosen sebagai seorang tenaga profesional dan seorang ilmuwan,[2] mendidik mahasiswanya untuk senantiasa menemukan kebenaran-kebenaran itu. Tidak hanya dalam pikiran, kebenaran haruslah terpatri dalam tindakan baik dari penganjur kebenaran (dosen) maupun dari penerima anjuran kebenaran. Seperti seorang ayah yang melarang anaknya merokok, maka sang ayah hendaklah bukan seorang perokok.

Saturday, May 14, 2016

RUNTUHNYA KANTOR GUBERNUR-GEOLOG VS PLANNER



Hasil penelitian yang dilakukan Andri Saputra Jusuf- Mahasiswa Teknik Geologi Universitas Negeri Gorontalo menunjukan: kantor Gubernur Gorontalo dibangun di atas tanah yang rentan terhadap bahaya longsor. Andri pun merekomendasikan kepada pemerintah, bahwa lahan tersebut kurang tepat dijadikan sebagai kawasan perkantoran. (Selengkapnya baca: Kantor Gubernur Terancam Runtuh)

1800 berbeda dengan pendapat di atas. Sesuai ilmu dan pengalamannya berhasil merancang beberapa perkantoran/perkotaan di atas gunung, Planner-Danny Pomanto, selaku perancang bangunan tersebut yang dihubungi awak Radar Gorontalo melaui pesan WhatsApp, menepis tudingan tersebut. (Selengkapnya baca: Danny Pomanto : Butuh Ilmu Memadai Rancang Kawasan)

Sunday, May 1, 2016

Pendidikan Sarana Memanusiakan Manusia #Paolo_Freire (SelamatHariPendidikanNasional)

***
Judul di atas tentu sudah lumrah di telinga kita. Bagi penulis, judul tersebut cukup menggelitik. Mungkin kita bertanya setelah melihat judul tersebut, kenapa yah kita yang manusia perlu dimanusiakan? Apakah selama ini kita bukan manusia? Lantas, manusia bagaimanakah yang dimaksud itu? Jika pertanyaan seperti ini hadir di benak, berarti kita tengah menuju manusia yang sesungguhnya, karena salah satu ciri khas manusia terletak pada kemampuan berpikirnya yang bisa digunakan untuk bertanya. Iblis dan malaikat juga bisa bertanya kok. Jadi, apa bedanya kita dengan kedua makhluk itu? Maaf, aku sedang berpura menjadi Sekuler.
Baiklah, penulis akan mencoba membahas kesejatian manusia dari sudut pandang seorang sarjana hukum yang karena istrinya akhirnya orientasi perjuangannya beralih ke pendidikan. Dialah Freire (sapaan akrab Paulo Freire), seorang filsuf pembaharu dari Brazil. Lahir dari kota pesisir Recife, terletak di tenggara Brazil; daerah paling melarat dan terbelakang diseluruh negeri. Untungnya, ia berhasil mengeyam pendidikan tinggi.[1]
Sebelum masuk ke pembahasan ada baiknya penulis sedikit mengulas titik tolak pemikiran Freire agar selanjutnya kita mudah memahami sampai kenapa Freire menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah Humanisasi, memanusiakan kembali manusia. Menurut Freire, di dunia ini begitu banyak manusia yang menderita, sementara sebagian lainnya menuai nikmat di atas derita orang-orang dengan cara-cara yang tidak adil. Ironisnya, para penikmat justru hanyalah golongan minoritas dari umat manusia. Kenyataan inilah yang membuat Budiman Sujatmiko menyatakan, bahwa sebenarnya di dunia ini hanya sedikit orang jahatnya dan yang banyak itu adalah para pecundangnya.[2] Persoalan ini lalu diistilahkan oleh Freire sebagai Situasi Penindasan.
Bagi Freire, apa pun alasannya, penidasan tidaklah manusiawi, menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi), dan merupakan pembengkokan cita-cita menuju manusia yang utuh. Dehumanisasi ini bersifat ganda, dalam artian, terjadi pada diri mayoritas orang ter-tindas dan minoritas kaum pe-nindas. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasinya dinistakan, dibuat tidak berdaya, dan dibenamkan dalam kebudayaan Bisu.[3] Ada pun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mengingkari hakekat keberadaan dan hati nuraninya sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya. Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia seutuhnya, cepat atau lambat kaum tertindas harus bangkit berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan ini bermakna, kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan kembali kemanusiaannya, berubah menjadi penindas kaum penindas, melainkan mereka musti memanusiakan kembali keduanya.
Bangkit melawan hanya bisa terjadi bila individu/masyarakat menjadi subjek sadar akan situasi penindasan. Sadar, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi ada sebab, sehingga bersikap tidak pasrah, dan menganggap kenyataan adalah situasi yang bisa diubah. Misalnya, ketika kita termasuk orang miskin, maka kita harus sadar bahwa kita benar-benar adalah orang miskin dan kemiskinan yang dialami pasti ada penyebabnya, malah boleh jadi kemiskinan kita adalah akibat dari tindakan pemiskinan dari para penindas yang dalam konteks kekinian para penindas berlindung di balik topeng kemurah-hatian palsu sehingga yang tertindas akan selalu menadahkan tangannya dengan gemetar. Tidak semua penindas bahagia dengan penindasanya. Kadang pula, para penindas yang sadar, akan didera kegelisahaan dan kepedihan, namun kesadaran bahwa dirinya menindas tidak serta merta menjadikan ia solider terhadap orang yang ditindasnya. Ia akan mencoba menenangkan rasa bersalahnya dengan memperlakukan si tertindas secara paternalistik (melindungi dan memperhatikan si tertindas), namun dengan perlakuan itu ia menjadikan si tertindas semakin bergantung padanya. Kecuali, bila para penindas yang sadar mengubah solider menjadi solider sejati yang berarti ia berjuang di sisi mereka, memberikan hak-haknya, membebaskan suaranya dari kebisuan, dan memperlakukannya secara arif dan penuh cinta.
Adanya  kesadaran tentang kemiskinan yang menimpa, serta memahami sebab kemiskinan yang melanda, maka kita akan berikhtiar untuk keluar dari zona kemiskinan tersebut dengan cara memunculkan kemurah-hatian sejati.[4] Ketika, kemurah-hatian palsu membuat kaum tertindas menadahkan tangan, maka kemurah-hatian sejati berusaha agar tangan-tangan itu (individu/rakyat), menjadi tangan-tangan yang bekerja untuk mengubah kenyataan. Tangan-tangan itu pula yang digunakan untuk memberontak kepada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Sementara, bagi orang yang tidak sadar, akan menerima kenyataan kemiskinan sebagai nasib atau pemberian dari tuhan yang harus dia terima dan dijalaninya.
Maka dari itu, manusia sebagai animal rationale[5] pasti mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan itu ia merubah dunia dan kenyataan. Meskipun manusia dan binatang sama-sama memiliki naluri. Namun, manusia juga memiliki kesadaran, sadar akan dirinya, dan sadar akan kenyataan yang tengah terjadi. Selain memiliki kemampuan berpikir, manusia juga memiliki kemampuan merasa.[6] Perasaan ini selalu bersifat subjektif dan perasaan mampu menimbulkan suatu kehendak.[7] Kehendak yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan. Jika seseorang pasrah, menyerah, apa lagi tidak sadar dan berikhtiar, sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Seorang manusiawi harus menciptakan sejarahnya sendiri dan bukan malah menjadi pengekor sejarah atau korban sejarah. Kesadaran hanya bisa terbentuk bila manusia sudah menjadi manusia seutuhnya, yang ia peroleh melalui pendidikan.
Pendidikan bagi Freire berfungsi sebagai alat pemanusiaan manusia (Humanisasi). Pendidikan yang humanis dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situlah mereka akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri. Dalam perjuangan itu pula, pendidikan kaum tertindas akan terus-menerus diperbaharui. Bila individu/masyarakat telah sadar bahwa mereka adalah objek penindasan, maka mereka dapat memberi sumbangan pada proses kelahiran pendidikan yang membebaskan.
Pembebasan adalah kelahiran, dan kelahiran pastilah menyakitkan. Manusia yang lahir adalah manusia baru, tapi bukan lagi penindas dan yang ditindas, melainkan manusia yang sedang berproses mencapai kemanusiaanya.



[1] Lihat, Paolo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, (E.D). Menggugat Pendidikan. Cetakan VIII, juli 2015, Hal. Iviii. Diterjemahkan oleh: Omi Intan Naomi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[2] Lihat, Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
[3] Kebudayaan bisu, menurut Freire, adalah kondisi cultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidak berdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya. Sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang sacral, sopan, dan harus ditaati.
 [4]Kemurah-hatian sejati adalah perjuangan untuk menghancurkan sebab-musabab atau sumber-sumber kemurah-hatian palsu.
[5] Animal rationale adalah istilah dari ahli agama Kristen yang berarti binatang yang berfikir. Lihat: Zaini, Syahminah. 1984. Mengenal Manusia Lewat Al-Quran. Surabaya, PT. Bina Ilmu. Hal. 5.
[6] Lihat, Suriasumantri, J.S. 2013. FILSAFAT ILMU; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. Cetakan 24. Hal. 42.
[7] Koentjaraningrat. 2009. PENGATAR Ilmu Antropologi. Jakarta; PT. Rineka Cipta. Hal. 87

Saturday, April 23, 2016

MESKI TAK MENGAPA, MENGAPA MENOLAK KEDATANGAN JOKOWI?

Lagi dan lagi, barisan pemuda Gorontalo berdiri gagah di perempatan depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo, dengan isu “menolak kedatangan Jokowi.” Kinerja Jokowi dipertanyakan, karena sampai dengan detik ini realisasi program nasionalnya kurang terasa dan kurang berpihak pada rakyat.

Tuesday, April 12, 2016

SETEGAR AYAHKU

Sumber: http://tokeinfo.com/

Sebagai seorang bocah yang mulai belajar. Hanya sedikit kenangan yang bisa kuingat tentang sosok kedua orang tua Ayahku. Ayahku yang telah lama menjadi yatim-piatu. Aku yang masih kecil waktu itu, tak tau bagaimana pilu hatinya sewaktu ke dua orang tuanya telah tiada.
Sejak SD, tahun 1999, hingga saat ini 2016. Aku banyak menyaksikan betapa sedihnya seseorang bila ditinggalkan Ayah, ibu, maupun saudaranya. Air mata itu kulihat membasahi pipi-pipi mereka, seolah terus mengalir tiada henti. Kesedihan yang terus memeluk hati ketika melantunkan ayat Al-Quran atau ketika lagi menyepi mengenang. Aku hanya bisa mengatakan bagi mereka yang ditinggalkan  “yang sabar kawan, yang kuat kawan.” Tapi apakah akan sekuat dan setabah mereka, jika yang tertimpa adalah Aku? Entahlah, bagaimana rasanya bila salah satu keluargaku yang masih utuh, pergi menghadap Ilahi.
Tahun 2013 silam, beberapa hari setelah Idul Fitri, sebelum Aku balik ke Gorontalo. Dalam suatu kesempatan shalat maghrib berjamaah dengan Ayahku di rumah, setelah berdoa, ketika tiba giliranku bersalaman dengan beliau,  tangan keriput yang pernah membimbingku, memegang kemudi sepeda dari desa ke desa menjajakan barang demi sesuap nasi keluarga, mengelusku ketika sakit, menggendongku tanpa keluh ketika di kelas 4 SD salah satu tulang rusukku patah, itu kucium dan teringat akan segala dosa yang telah aku lakukan. Aku yang berkumis, dengan usia 21 tahun, lantas memeluknya dan berbaring di pangkuannya. Wajah ini kusembunyikan di pinggangnya, air mata tak kuasa kubendung. Dengan penuh sesal dan suara parau, kata-kata maaf yang kupendam dengan sombong selama ini pun tumpah begitu saja seperti mengalirnya air bendungan yang tiba-tiba betonnya retak lantas hancur.
Ayahku ikut menguraikan air mata. Air mata  yang seharusnya tidak pantas untuk anaknya yang nakal dan congak ini. Lantas, kata-kata itu pun berbisik hingga ke hatiku “bapak sudah maafkan kamu nak, bahkan sebelum kamu meminta maaf.”
Sumber: http://ajus-junio.blogspot.co.id/

Monday, April 11, 2016

UNIKNYA JULUKAN DOSEN MATEMATIKA UNG

Sumber: google

Malam ini, di salah satu warung kopi yang berada di Kota Gorontalo, sorang kawan lama bercerita tentang salah satu kebiasaan dosen di jurusannya. Julukan yang menurut saya cukup unik dan bermakna dalam. Kalau Indonesia pernah heboh dengan penipuan dengan modus “mama minta pulsa”; gempar dengan “papa minta saham.” Di jurusan kawanku ini malah popular istilah “Dosen Minta Flash Disk.”

Friday, April 8, 2016

MERANA MENUJU SARJANA (Stop Pungutan!)


Sumber: google.com

    Tulisan ini dibuat sebab kegundahan seorang kawan mahasiswa disuatu pagi, awal minggu pertama di bulan April 2016 yang cerah, kala ia tengah mengurus kelengkapan administrasi menuju sarjananya. Ia bercerita dengan bibir senyum yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Ia terheran, tidak terpukau, namun, merasa miris setelah mengetahui bahwa kelengkapan administrasi yang ia butuhkan hanya dapat diperoleh dengan mudah bila merogoh rupiah terlebih dahulu.

Monday, April 4, 2016

ORGANISASI BUNGKAM, BUBARKAN SAJA!



Megaphone kini pengangguran, tidak ada lagi yang berteriak melaluinya. Aspal jalan rindu sentakan sepatu dan bakar bannya mahasiswa. Mulut mahasiswa kini lebih doyan koprol sana-sini. Lebih suka memanjakan kaki sembari ngumpul, ngumpat, dan ngompolin pemerintah di warung kopi. “Kalau sekadar bicara burung beo juga bisa” guman Iwan Fals yang resah. Apa lagi yang mau diharapkan dari generasi retorika namun bungkam dihadapan ancaman? Berbicara memang adalah manifestasi dari berpikir. Namun, jangan sampai kita seperti burung dalam sangkar, yang kicauan pemikiran perubahan hanya sampai di pintu sekretariat.
Budiman Sujatmiko berkata, sebenarnya negeri ini hanya segelintir saja yang menjadi penjahat, yang banyak itu orang yang pengecut.[i] Mungkin kita (mahasiswa) termasuk dalam kategori “pengecut” itu. Atau barangkali kita seperti para filsuf sebagaimana yang digambarkan oleh Soekarno, orang yang menutup dirinya di dalam kamar menghadapi buku, jikalau ia pun keluar dari kamar malam-malam memandang bintang di langit, lantas berfalsafah.[ii] Tapi, para filsuf masihlah lebih baik, mereka tetap membaca buku ketimbang kita yang hanya sibuk di dunia imaji gadget. Padahal, Negara-negara maju ditandai dengan masyarakat yang gemar membaca; orang-orang hebat juga gemar membaca. Bahkan Soekarno adalah orang yang rajin membaca, tetapi dia tidak hilang terbenam di dalam debunya.[iii] Bagi Soekarno, buku adalah a guide to action, satu pimpinan untuk beraksi. Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Membaca merupakan titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. UNG, Kampus peradaban, kampus yang mahasiswa dan dosennya gemar membaca. Begitukah?
Kawan-kawan
Kampus berdiri bukan sekadar untuk melahirkan sarjana. Kampus diselengarakan bukan untuk kegiatan kuliah semata. Sedari awal kampus adalah taman pengetahuan dan gerakan. Melalui kampus mahasiswa dilatih bukan untuk tertib dan takut. Mahasiswa dimatangkan oleh gagasan dan polemik.[iv] Kelas kuliah bukanlah tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga.[v]
Kampus dan dosen dengan dogma “datang-patuh-pulang” seakan mengkhianati berdirinya  kampus itu sendiri. Padahal tak semua manusia sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO. Steve Joobs berhenti kuliah, Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan Mark Zuckerberg keluar dari kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan mempengaruhi perubahan sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus cepat. Dalam konteks Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa pusing berpikir soal IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.[vi]
Gerakan mahasiswa mesti kembali tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan mengerakkan. Ia mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana jiwa jalanan direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten menyatakan perlawanan dari berbagai sektor. Agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung dogma pembunuh kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai kecil, tak bisa ikut UAS-UTS.[vii] Agar pungutan-pungutan siluman bertopeng aturan tanpa rasionalisasi segera lenyap. Tidak ada lagi mahasiswa yang diperas oleh yang terhormat dosen-dosen pemangku kepentingan.
Kawan-kawan
Saat kita resmi menjadi mahasiswa, saat itu juga sebenarnya kita sedang menggunakan toga yang talinya masih di kiri. Hanya saja saya heran, kenapa kucir (tali) toga pada saat wisuda, harus dipindahkan dari kiri ke kanan, kenapa bukan dari kanan-kiri? Setelah saya riset, Akhirnya saya temukan jawabannya di Wc, ketika cebok. Cebok cenderung megunakan tangan kiri, cebok artinya membersihkan, dan kiri menurut Jacob[viii] bermakna radikal (berdasar, kritis, dan menanduk). Jadi kalau ada birokrasi kampus atau pemerintah yang berkelakuan busuk macam t.a.i. Mereka harus kita cebok.
Organisasi yang masih bungkam dan takut melawan, bubarkan saja!





[i]Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak-anak Revolusi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
[ii]Pidato Soekarno, ketika menerima gelar Doctor Honoris causa dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iii]Pidato Presiden (Rektor) Universitas Hasanuddin, Arnold Mononutu. Ketika memberikan gelar Doctor Honoris causa kepada Soekrno dalam Ilmu Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan khusus di bidang Ilmu Politik Hubungan Antar Negara Universitas Hasanudin.
[iv] 2014. Pengkhianatan Kampus Dalam Film Senyap. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2014/12/pengkhianatan-kampus-dalam-film-senyap/
[v] [v]____.2015. Apa Kabar Mahasiswa. Harian Indoprogress. Dapat diakses pada: http://indoprogress.com/2015/11/apa-kabar-mahasiswa/
[vi]Menteri Koordinator dan Kebijakan Eksternal BEM KM UGM.2015. review Buku "Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" karya Eko Prasetyo (Resist Book, Yogyakarta). Diakses di: http://kotakkataotak.blogspot.co.id/2015/03/bangkitlah-gerakan-mahasiswa.html
[vii] Ibid.
[viii] Prof. Dr. T. Jacob. Lahir pada 6 desember 1929. Pernah Menjadi Gurubesar tamu Diego State University, California, Museum d’Historie Naturelle, dan college de France, Paris. Beliau juga adalah mantan Sekeretaris dan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Rektor UGM, dan mantan Anggota MPR. Lihat. Jacob.1995. Beginilah Kondisi Manusia.Jakarta, Balai Pustaka.

Tuesday, March 29, 2016

REKTOR UNG MEROKOK, SEANDAINYA

https://plus.google.com/+mardiahms94

Menurut Labionda, teman saya, merokok adalah aktivitas membanggakan, bahkan “Labionda” pernah berkata: “ada kodok di atas genteng” “tidak merokok tidak ganteng”. Pantun ini menyesatkan. Padahal, pantun ini seharusnya berbunyi “ambil genteng lempar perokok” “ngana pe ganteng macam kodok”

Sunday, March 13, 2016

HARMONI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA GORONTALO

Seperti kerendahhatian yang ditunjukkan air dengan sifatnya “taluhu sifati moopa” (mencari tempat yang rendah). Yang berilmu laksana padi, makin berisi makin merunduk.